Sabtu, 28 April 2018

Stop BAPER


Akhwat..
Jangan berikan dulu cinta dan hati kita karena itu hal yang paling berharga dalam diri kita..
Jangan mudah memberikan cinta kalian kepada laki-laki walaupun sehebat apapun laki-laki itu sampai dia mengatakan "saya terima nikahnya. si Fulanah dengan mahar sekian" baru pada saat itu juga kita katakan "Aku berikan hatiku kepadamu"
Maka In Syaa Allah ndak gampang baper..
Tapi kalau "belum ada apa apa" udah bilang I Love You (kirim 100x dalam sehari kayak dzikir ja)
Jangan....!
Belum saatnya, karena kalau dah terlanjur kita berikan susah diambil kembali kecuali dalam keadaan patah atau pecah dalam keadaan hancur..
Kalau diambil dalam keadaan utuh? Jarang bisa diambil kembali lasti kalau ndak patah, pecah, retak..
BAPER.. Masalah jodoh?
Taruh ja pertaruhannya sama Allah.. Bukankah ikan di laut dan sayuran di kebun ketemunya dimasakan ibu?
“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Adz Dzariyaat: 49)
By: Ustadz Hanan Attaki

Cinta dalam Diam



Duhai ukhti..
Aku pun merasakan jatuh cinta..
Namun hal yg kupilih bukan dengan cara mendekatinya..
Aku memilih mencintai dia dalam diamku walau terkadang bosan menahan rasa ini,
Tapi inilah pilihan ku, lebih memilih menjauh darinya sampai tiba waktunya hati ini dipersatukan oleh Allah dalam ikatan Halal..
Entah itu dengan nya atau oleh orang lain yg telah Allah Ridhai..


Rindukan Syahid 

Diary Muslimah 4




SURAT CINTA
Wahai ukhti...
Disaat rasa itu mulai bersemi
Kau akan merasakan resah dan gelisah di dalam hati
Tak dapat dipungkiri..
Engkau akan ajukan beberapa pertanyaan kepada diri sendiri..
Darimana dan kapan datangnya rasa ini?
Ingin cerita ke kawan, malu rasanya sebab kau tau,. bahwa kawan bisa saja menceritakan ke orang lain suatu saat nanti..
Ingin mengungkapkan ke orang yg bersangkutan, tidak tahu apa tujuannya,
Ingin update di sosial media, kau tahu bahwa itu tidak ada manfaatnya,
Lagi-lagi kau hanya bisa diam membisu karena perasaan yang semakin hari semakin tak karuan itu,
Wahai ukhty...
Cinta adalah anugerah terindah dari Nya, Fitrah bagi manusia untuk merasakannya.
Namun, jangan sekali-kali kau menyalahkannya, yang perlu kau ketahui bahwa ketika muslimah menjatuhkan hatinya kepada yang belum jelas bahwa ia jodohnya itu adalah ujian terberat yg harus dihadapinya..
Kau tahu ketika muslimah jatuh cinta?
Bukan temu yg diharapkan..
Bukan jumpa yg di nantikan..
Tetapi, lebih memilih untuk menjauhinya dan menempatkannya pada sebuah kata perpisahan..
Bukan karena tak mencintainya,
Bukan pula karena tak ingin bersamanya,
Tetapi ia tahu bahwa perasaannya saat ini akan membawanya menuju zina,
Bukan mendekatkannya pada Rabbnya,,
Apalagi menjadikan surga dekat dengannya
Ia pun tahu bahwa dirinya belum tentu menjadi pasangan halalnya..
Membayangkannya saja sudah berdosa apalagi harus dekat dengannya?
Melihatnya adalah zina mata
Berbicara dengannya adalah zina mulut
Chit chat dengannya adalah zina tangan
Kau tahu ketika muslimah jatuh cinta?
Ia hanya bisa berdo'a..
Ia pasrahkan segala urusannya pada Rabbnya..
Ia mulai pupuskan rasa rindu dan cinta untuknya dan mengembalikan rasa cinta dan rindu akan Rabbnya..
Ia percaya jika dia adalah jodohnya Allah yg akan mempersatukannya..
Dan jika sebaliknya Allah yg akan menjauhinya dan menggantikan dengan yg lebih baik darinya .
@atririzki

Diary Muslimah 3



MAAFKAN AKU YANG PERNAH PACARAN
Untukmu..
Hamba Allah yang akan ku dampingi di masa yang akan datang. .
Maafkan aku yang pernah pacaran dan punya mantan..
Perlu kau tau, betapa berat dan tiada habis penyesalan dan rasa malu yang ku tanggung atas kesalahan ku yang satu ini.
Betapa takut nya aku, takut bahwa nanti nya dosa ini lah yang menjadi penyebab hangusnya seluruh amalan ku dan penyebab aku dan ayah ibuku terjerumus kedalam api abadi neraka Nya..
Dikau.. Aku tau mungkin akan terbersit rasa kecewa di hatimu.
Tapi ku berdoa, semoga kecewamu tak berkepanjangan.
Semoga kecewamu tak lebih besar dari cinta dan ke ikhlasanmu untukku. .
Semoga kau bersedia mendoakan ku dan kelak membimbingku agar aku tak terjatuh ke lubang yang sama atau lubang-lubang dosa lainnya.. .
Dengan cinta, Dari ku, Hamba Allah, Bentuk lain dari tulang rusuk mu..
@rini_maharani

Suka Tanpa Sengaja



Entah kenapa..
Sepertinya aku mulai menyukaimu..
Kagum padamu..
Mungkin hanya Allaah yang tau. .
Sadar diri..
Mungkin bukan aku saja yang punya perasaan ini, orang lain pun sepertinya mengagumi, mengagumi kau yang seperti ini. .
Terkadang juga cemburu, cemburu pada orang yang kenal dekat denganmu, bercanda denganmu, cemburu karena aku tak bisa begitu...
Sekali lagi tersadar..
Aku hanyalah orang baru yang tiba-tiba nyaman mengingatmu, yang hanya mengenalmu lewat ponselku, yang belum tau sepenuhnya hidupmu...
Menegaskan, kau pun bukan milik siapapun, hanya Allah yang memilikimu.
Sebisa mungkin berdoa agar tak di butakan perasaan itu...
Ternyata ini penyakit hati..
Penyakit yang dahsyat sekali, Masuk ke dalam hati ikhwan-akhwat yang sudah berjanji, Berjanji menjaga diri...
Hati-hati, inikah yang sedang kau rasakan? Tentang perasaan?
Berdoalah, agar tak di butakan...


Rindukan Syahid 

Ada Rasa yang Tak Biasa



Selalu bertanya pada diri ini "Ada apa dengan hatiku?"
Awalnya semua terasa biasa sebagaimana mestinya..
Namun lama kelamaan ada sesuatu yang mencoba masuk dan menyelinap kedalam detak hati ini.
Mungkin ini sebuah rasa namun tak biasa..
Sulit diartikan dan diterjemahkan..
Rasanya seperti selai strowberry ada manis dan asamnya..
Dibilang manis namun sedikit asam
Dibilang indah namun menggelitik qalbu..
Oh Allah..
Apakah aku sedang jatuh cinta..?
Entahlah..
Kalau benar demikian bagaimana bisa aku jatuh cinta, terlebih dengan "dia" yang tak pernah bicara dan tak pernah memperhatikanku?
Cinta semacam apa ini...?
Apakah cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan? Atau justru beetepuk tangan..?
Perkenalan hanya sebatas nama lewat teman tanpa berkomunikasi lalu tanpa disadari rasa yang tak biasa itu hadir menyelinap didalam hati..
Kenapa bisa demikian..?
Entahlah mungkin karna sosoknya yang sopan, baik, sabar dan penyayang..
Bukan rasa cinta sebenarnya..
Hanya saja diri ini nyaman dan tenang bila mendengar namanya di sebut 
Dialah sosok sederhana yang menghiasi relung hati
Meski belum pasti menjadi tambatan hati...


Rindukan Syahid 

Kamukah...?



Karena akan ada masanya hati yang pernah tidak hati-hati ini akan berhenti menanti-nanti sesuatu yang tidak pasti. .
Karena ketidak pastian akan memastikan kita menjadi pribadi berhati mati jika terus mengejarnya mati-mati. .
Karena mengakhiri rasa yang terlalu dalam pada tempat yang tidak tepat itu susah-suram.
Kau harus membumi hanguskan perasaanmu dan berputus asa secara nyata jika kamu benar-benar ingin mengakhirinya. .
dan kini  aku lebih berhati-hati dengan hati dalam jatuh hati. .
Kan kuberikan hatiku hanya untuk pendampingku sehidup semati nanti. . . .
In Syaa Allah..
Kamukah...?


Rindukan Syahid 

Selasa, 24 April 2018

Kenal Tak Dikenal

Dilarang keras mengcopy dan mengambil isi cerita tanpa seizin penulis...!



KENAL TAK DIKENAL
By: Rindukan Syahid

"Assalaamu ‘alaikum, hei Maisarah! Kamu benar-benar keterlaluan ya, seenaknya saja kamu bilang ke teman-teman bahwa aku yang membuatmu putus dengan Zainul. Dengar ya, meskipun aku ini orang miskin dan tidak sehebat dirimu tapi aku tidak akan sesekali merebut pacar orang, aku masih punya maruah, kamu dengar??"
Terdengar suara Alya yang marah diseberang ponsel. Seorang ikhwan yang berumur 23 tahun bingung tidak karuan mendengar omelan seorang gadis yang nggak jelas.
‘‘Ma,,,’’
‘‘Kamu nggak usah berpura-pura nggak bermaksud menuduhku, semuanya sudah jelas. Selamat ya karena kamu sudah berhasil mempermalukanku. Kamu puas...??!!”
Lagi-lagi Alya mengamuk. Dia meraih bantal gulingnya yang bergambar Doraemon dan melemparkannya dengan kasar. ‘Menyebalkaaaan....!!’
“Mm,,,maaf, ini siapa, ya?”
O’ow... Mendengar suara yang menyerupai suara spesies kaum Adam, Alya jadi terkejut, matanya membulat dan mulutnya menganga lebar, untung saja lalat tidak hinggap dimulutnya, kalau tidak? Haish...
‘Aiiiik? Suaranya kok beda? Oh Kamisama Allah, gawaat,, Jangan-jangan ini,,,,?’
Sontak dada Alya berdegub kencang. Dia menelan ludah dan menarik nafas.
“Nng,,, ini Zainul, ya?” tanya Alya dengan suara bergetar. Takutlah tu.
“Nggak, kalau boleh tahu ini dengan siapa? Kenapa marah-marah?”
Gawat sudah, Tut..tuut.. Alya langsung mematikan Xiaomi  chan nya.
‘Lo? Kok yang nyahut ikhwan sih? Bukannya ini nomor Maisarah?’ tanya Alya sendiri. Alya memeriksa kembali nomor yang ada di sehelai kertas dan mencek nomor yang baru saja dihubunginya.
Wuaaa,, pantasan yang nyahut ikhwan ternyata dia salah pencet nomor, ada dua angka yang terbalik. Wajah Alya mendadak berubah menjadi semerah ketam rebus karena malu terhadap dirinya sendiri yang sudah ceroboh.
‘Jadi,, yang tadi itu siapa? Aduuh’ Dengan cepat Alya kembali mendail nomor yang tadi dengan satu tujuan, meminta maaf.
“Assalaamu ‘alaikum, ”
“Wa’alaikumussalaam,,” sahut Alya dengan nada perlahan, control ayu lah, kan? Hahaha.
“Ada apa, ya?” tanya ikhwan tersebut dengan lembut. ‘Ah,, suaranya lembut sekali, oiiit, sadar Alya, sadar!’ Alya menepuk-nepuk pipi tembamnya. ‘Adeeeh,,bagaimana ini? Aku harus jawab apa?’ tanya Alya dalam hati sambil menggigit bibirnya, dia berharap mentalnya tiba-tiba menjadi sekuat Sakura yang di film Uzumaki Naruto. Bismillah..
“Anu, so,,soal ta,,tadi, aku amm minta maaf, ye” jawab Alya dengan terbata-bata.
‘Tadi marah macam singa, sekarang macam kucing. Comel’ Ashraf tertawa.
“Hahaha,, yang tadi ya? Tidak apa-apa. Oh ya, namamu siapa?”
“Alya, Alya Az-Zahra,” jawab Alya.
“Alya Az-Zahra, ya? Aku Ashraf Aulia, nama kita hampir sama, salam kenal.”
“Salam kenal juga, sekali lagi aku minta maaf.” Alya memelas.
“Tidak apa-apa kok, anggap saja ini hikmah yang tadi. By the way, Alya dapat nomor ini darimana?”
“Maaf, tadi aku salah tekan, jadi nyasar kesini.”
“Anak baik dan jujur, tapi kok tadi kamu tidak selembut ini?”
“Habis,,yang tadi itu aku lagi naik tension, maaf, ya”
“Ok, nomormu aku simpan ya, buat nambah tali silaturrahim, gitu”
“He eh, Oh ya, boleh.”
Begitulah awal perkenalan Alya dengan Ashraf, dari hari ke hari mereka kian akrab hingga berlangsung 11 bulan 3 hari 5 jam ntah berapa menit dan detik. Alya merasa cocok dengan Ashraf dari suaranya yang lembut, ngomongnya juga santun, tawanya yang khas buat Alya, bahkan mereka punya banyak kesamaan dalam kesukaan dan hobi. Tanpa diketahui Alya diam-diam Ashraf jug turut menyimpan perasaan yang sama, hanya saja Ashraf tidak ingin merusak persahabatan mereka yang indah.
###
Pagi ini cuaca cerah, seakan-akan ikut menceriakan suasana kalbu Alya yang ditaburi mawar-mawar yang mekar. Alya melangkah keluar dari kost dengan tak lupa membaca do'a dan selawat dalam hati sambil mengenakan tas sandang ungunya. Dia memang suka berjalan kaki dipagi hari karena bagus untuk kesehatan, selain itu jarak college tidak seberapa jauh dari kosnya.
"Assalaamu'alaikum ukhti, permisi, numpang tanya" tegur seorang lelaki. Teguran itu mematikan langkah kaki Alya, dia menoleh.
"Wa'alaikumussalaam, iya, ada yang bisa kubantu?" sahut Alya seraya menyunggingkan seulas senyuman ikhlas.
'Hehe,, dapat pahala free, sedekah. Idiih,, comel juga ikhwan ini, Alya, kau ini kenapa? Jaga pandangan' Buru-buru Alya menundukkan wajahnya.
"Apa benar ini Jl. Lestari dan Gang Mawar?"
"Benar, ada keperluan apa ya, akhi?" tanya Alya dengan ramah."Tidak ada apa-apa kok ukhti, kemarin ada teman yang memberi tahu kalau di gang ini ada tempat kos ikhwan yang masih kosong."
Alya berfikir sejenak dan tersenyum.
"Memang benar akhi, tapi kalau kos buat ikhwan ada di ujung sana, disini tempat akhwat." Kata Alya sambil menunjukkan arah dengan jarinya.
"Oh,, terima kasih ya atas bantuannya, boleh tahu namanya siapa?" tanya lelaki itu sambil memandang Alya yang terus menundukkan wajahnya. Alya mendongak dan menatap ikhwan itu sebentar lalu menunduk kembali.
'Mak aiii.. malunyaa,,,'
"Alya Az-zahra, akhi." Jawab Alya perlahan tapi masih dapat didengar lelaki itu.
'DEGH....!'
Jantungnya berdegub kencang, dia meneliti wajah gadis yang didepannya, tanpa sadar dia menoleh ke arah rumah yang tepat dibelakang Alya.
'122'.
'Jadi benar'gumamnya.
"Kalau begitu terima kasih, ya. Maaf sudah merepotkanmu, sampai ketemu lagi. Wassalaamu'alaikum." Katanya sambil melangkah pargi.
"Iya, Wa'alaikumussalaam" jawab Alya sambil memandang lelaki itu hingga menghilang dari pandangan, kemudian dia melanjutkan langkahnya yang terhenti ke college.
Sayang sekali Alya tidak tahu kalau lelaki yang menegurnya tadi pagi itu ialah Ashraf, Ashraf ingin mengenali Alya secara langsung tanpa dikenali Alya, bukan niatnya untuk bersikap pengecut, namun dia memiliki alasan tertentu.
###
Alya duduk termenung ditaman kampus, raut wajah lelaki yang tadi masih kuat dibenaknya, entah kenapa bayangan lelaki ajnabi itu masih bermain-main difikirannya.
'Hah,, kenapa aku jadi seperti ini, ya? Tapi,, dia siapa? Ya Allah, ampuni aku' batin Alya dalam kesendirian. Kemudian ingatannya beralih kepada sebuah nama, Ashraf. 
Sejak pertemuannya dengan lelaki tersebut, belakangan ini Alya merasa ada yang mengawasinya, tapi ntah siapa orangnya.
"Ashraf, suaramu terdengar lemah sekali, apa kamu sakit?" tanya Alya saat dia ditelpon Ashraf.
"Tidak, aku baik-baik saja kok."
"Tapi, kenapa suaramu seperti orang sakit? Tidak semangat"
"He..he..he.. segitu mencemaskan aku ya?, Jangan khawatir" sahut Ashraf sambil tertawa halus, dia menahan rasa sakit yang dialaminya. Seketika Alya malu wajahnya langsung merona untung saja Ashraf tidak melihatnya.
"Ashraf, Kamu ngomong apa?"
"Aku senang kamu mempedulikanku. Oh ya, bagaimana dengan cerpenmu? Apa sudah selesai?"
"Alhamdulillah tinggal sedikit lagi, maklumlah banyak tugas menumpuk, jadi cerpenis juga masih amatiran, hehe,,,"
"Tidak apa, semuanya butuh proses dan tahapan, tetap semangat, ya"
"Insyaa Allah, terima kasih, akhi"
"Kasih diterima, hatinya kapan diberi?" usik Ashraf.
"Hah?? Apa?" Alya membelalakkan matanya, 'Apa aku salah dengar?'
"Haha,, just kidding my girl." Sahut Ashraf dengan tawa yang dibuat-buat.
'Adoyaai,, mulut ini memang tak bisa kompak dengan akal, untung je dia tidak dengar' seru Ashraf dalam hati.
Lagi-lagi Alya terkejut mendengar ucapan Ashraf,
'Omegad Allah, my girl?? Hah...?!'
Pipi Alya semakin merona darahnya naik menyerbu wajahnya. Malu tapi,,suka. Ceeh.. 
"Hihihi,,,iya, haha,,"
Alya tertawa tanpa sebab. Ashraf mengerutkan dahinya mendengar tawa Alya yang kedengaran aneh.
"Ngomong-ngomong kita akrab sekali ya, padahal kita belum pernah berjumpa" celetuk Alya setelah mereka diam 2 menit yang lalu. Ashraf tertegun mendengar ucapan Alya. Kemudian dia meringis kesakitan.
"Alya, aku sudah lebih mengenalmu. Kamu juga, meski hanya lewat bathin" sahut Ashraf dengan nada perlahan. Alya diam.
"Oh ya, aku ada permintaan" kata Ashraf mengalihkan pembicaraan.
"Apa?"
"Alya, kamu mau menyanyikan sebuah lagu khusus untukku?" tanya Ashraf dengan nada memohon. Mendengar itu Alya tersenyum.
"Hei, permintaan macam apa itu? Aku tak pandai lah"
"Itu permintaan terakhirku. Aku hanya ingin mendengarmu menyanyikan lagu yang khas buatku, ayolah, before aku menutup mata untuk yang terakhir kali" bujuk Ashraf.
Dia tau kalau Alya tidak akan menolak permintaannya. Alya tersenyum mendengar Ashraf, dia tahu Ashraf tengah membujuknya.
'Mungkin dia mau tidur' fikir Alya.
"Emm,,, baiklah, "
Alya pun menyanyikan lagu 'Permata yang Dicari oleh Munsyid Dehearty' sampai selesai.
"Terima kasih banyak ye Alya, itu sungguh berarti bagiku, aku minta maaf atas salah & khilafku selama ini"
Suara Ashraf semakin melemah.
Entah kenapa tiba-tiba ada firasat buruk bagi Alya, dia merasakan ada sesuatu yang terselip dibalik kata-kata Ashraf.
"Hanya itu permintaanmu?"
"Iya, mungkin aku akan pergi jauh. Alya, tolong ucapkan,, se,,lamat ja,,jalan padaku. Alya" Alya semakin heran.
"Ashraf nak pergi mana? Ke luar negeri?"
Alya mencoba menebak, dia berfikir Ashraf akan meneruskan pelajaran ke luar negeri sekaligus mencapai cita-cita sebagai penulis.
"Ashraf?" panggil Alya sekali lagi. Tetap tidak ada sahutan.
'Mungkin dia sudah tidur' fikir Alya.
"Baiklah, selamat jalan ya, Ashraf" ucap Alya setengah berbisik.
'Laa ilaha illallah'
Hanya itu yang mampu dilafazkan Ashraf sebelum menutup mata untuk selamanya.
###
Keesokan harinya Alya kembali menghubungi Ashraf tapi tidak ada jawaban, yang ada cuma bunyi tuut...tuut.. Besok dan besoknya lagi Alya terus menghubungi Ashraf namun hasilnya tetap nihil.
Ini merupakan minggu ke-2, Alya semakin gelisah, rindu dan takut bercampur menjadi satu. Kali ini dia bertekad dengan bulat. Pagi-pagi dia sudah berangkat dari rumah penginapannya dengan tujuan mengunjungi rumah Ashraf. Kurang lebih 2 jam dalam perjalanan memang membuat Alya bosan dan lelah, namun dia tetap semangat untuk mencari alamat sahabat yang dirinduinya. Akhirnya dia berhasil juga menemukan yang dia cari.
Maa Syaa Allah...
Betapa takjubnya Alya melihat keindahan sebuah rumah yang layaknya seperti istana, tanaman mawar yang menghiasi pekarangan dan air mancur yang dihiasi lampu kerlap kerlip menambah keindahan rumah tersebut.
'Ini rumah apa istana, ya? Tapi apa benar ini rumah yang kucari?' tanya Alya dalam hati.
Dengan bismillah perlahan-lahan Alya menekan tombol yang ada di pagar. Selang beberapa menit seorang lelaki separuh baya muncul dari dalam rumah dan berjalan kearah pagar.
"Assalaamu'alaikum, maaf pak, apa benar ini rumahnya Ashraf?" tanya Alya dengan sopan.
Lelaki yang bernama Zareef itu memandang raut wajah gadis yang didepannya.
'Ternyata gadis ini yang dimaksud' kata Zareef dalam hati.
Zareef mengangguk dan tersenyum sambil membuka pintu pagar. Alya membalas senyuman Zareef dan melangkah ke dalam.
"Wa'alaikum salaam, anak ini yang bernama Alya Az-zahra kan?" sapa Zareef dengan ramah.
"Iya pak." Sahut Alya dengan tetap tersenyum namun dia juga heran karena lelaki itu mengetahui namanya. Matanya memandang seisi ruangan untuk menemukan wajah yang dia cari. Zareef yang menyadari tingkah laku anak dara tersebut cuma bisa memberikan senyuman yang dipaksakan, hatinya bertambah pilu.
"Nak, silahkan duduk dulu. Saya Zareef, pamannya Ashraf," Kata Zareef.
"Oh ya, pak" sahut Alya dengan tersenyum.
"Sebentar ya, nak. Bapak ke dalam dulu" kata Zareef sambil melangkah ke dalam.
"Iya, pak." Sahut Alya. Hatinya sudah dup dap dup dap.
Zareef menemui mak Asnah, pembantu rumah yang sejak kecil sudah merawat Ashraf, dan menyuruh mak Asnah menyediakan minuman dan kue.
"Tuan, jangan-jangan gadis itu belum tahu." Kata mak Asnah sambil menuangkan fresh orange ke dalam gelas.
"Mungkin, baiklah, tolong mak bawa ini kedepan, nanti saya nyusul"
"Baik tuan" sahut mak Asnah.
Melihat seorang wanita yang sudah berumur datang membawa dulang berisi minuman, Alya segera berdiri dan tersenyum.
"Maaf ya neng, mak kelamaan bawa minumannya" kata mak Asnah dengan ramah sambil meletakkan gelas dan kue di atas meja. Kemuadian dia memandang Alya dan tersenyum.
"Maa Syaa Allah, ternyata tuan muda pandai memilih teman, neng ini yang namanya Alya, kan?" tanya mak Asnah. Alya yang mendengar ucapan mak Asnah cuma tersenyum malu, namun disudut hatinya masih terdapat kejanggalan.
"Iya, bu." Jawab Alya sambil menyalami mak Asnah.
"Neng, kenalin, saya ini mak Asnah, pembantu disini, panggil mak aja"
"Iya, mak, Ashraf lagi dimana? Kok dari tadi belum keliatan?" tanya Alya.
Mak Asnah menunduk. Dia tidak dapat menjawab pertanyaan Alya, hatinya sendiri masih berduka.
"Neng, mak ke dapur dulu, ye" kata mak Asnah sambil mengambil nampan dan langsung pergi ke dapur.
Dahi Alya berkerut menandakan dia heran melihat sikap mak Asnah.
Bismillah, dia meneguk air orange yang dihadapannya. Fuhh... Segaaar!
Tak lama kemudian Zareef datang dengan membawa sebuah kotak hijau ditangan.
"Alya,," panggil Zareef. Alya mengangkat wajahnya, dihadapannya Zareef berdiri dengan sebuah kotak hijau ditangan. Dengan suara berat Zareef pun bicara.
"Ashraf, dia sudah tiada lagi, Alya" kata Zareef lirih.
"Sudah tiada? Apa maksudnya?" tanya Alya bingung. Sungguh dia tidak mengerti apa yang terjadi sesungguhnya.
"Alya, ketahuilah , Ashraf sudah menghadap Yang Maha Kuasa, memang berat bagi kita, tapi apa boleh buat? Allah ternyata lebih menyayanginya" jawab Zareef dalam nada sendu.
Allah...!!
Alya terkejut mendengar ucapan Zareef, dia teringat kata-kata Ashraf waktu terakhir kali mereka bicara lewat telepon.
"Oh ya, aku ada permintaan''
"Apa?"
"Alya, kamu mau menyanyikan sebuah lagu khusus untukku?"
"Hei, permintaan macam apa itu? Aku tidak pandai menyanyi."
"Itu permintaan terakhirku. Aku hanya ingin mendengarmu menyanyikan lagu yang khas buatku, ayolah, sebelum aku menutup mata untuk yang terakhir kali"
"Terima kasih banyak ya, Alya, itu sungguh berarti bagiku, aku minta maaf atas salah & khilafku selama ini"
"Hanya itu permintaanmu?"
"Iya, mungkin aku akan pergi jauh. Alya, tolong ucapkan,, se,,lamat ja,,jalan padaku. Alya"
Tiba-tiba Alya merasakan matanya panas dan pandangannya kabur, dia mencoba bertahan agar tidak menangis, namun airmatanya tumpah jua. Dadanya terasa sesak, rindu yang ditahannya kini bersatu dengan rasa sakit yang mendalam karena kehilangan sosok yang dirinduinya, lebih tepat yang disukainya. Lututnya gemetar dan tanpa sadar Alya terjelopok ke lantai.
"Alya, sudahlah nak, dia sudah tiada. Jangan menangis, kita doakan agar Ashraf ditempatkan ditempat yang Dia redhoi" bujuk Zareef.
Dia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Alya. Mak Asnah yang berdiri dibalik pintu menghapus airmatanya. Dia sendiri sangat menyayangkan Ashraf, sejak kedua orangtua Ashraf meninggal karena kecelakaan Ashraf berumur 3 tahun, sejak itu sampai sekarang dialah yang menggantikan posisi ayah dan ibu Ashraf sebagai orangtua dan mengasuhnya. Namun, seperti yang dikatakan Zareef, Allah ternyata lebih menyayangi Ashraf sehingga Dia memanggilnya.
###
Alya menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur dan memejamkan mata. Dia merasa seperti bermimpi saat melihat sebaris nama yang tertera diatas batu nisan. Ya, Zareef dan mak Asnah yang membawanya ke pemakaman tempat Ashraf dikuburkan.
''Ashraf, kenapa kamu tidak menceritakan semuanya padaku? Kenapa??'' tanya Alya disela-sela tangisnya.
Dia meraih tas sandang ungu milik dan mengeluarkan seluruh isinya. Perlahan-lahan dia meraih sebuah ponsel dan kotak hijau pemberian paman Ashraf tadi siang. Dia meletakkan kembali ponsel milik Ashraf dan membuka kotak hijau tersebut.
''Yaa Allah,,!!''
Alya terkejut begitu melihat isi kotak itu. Didalam kotak itu terdapat banyak foto seorang akhwat yang tidak lain dirinya sendiri. Disaat dia duduk ditaman, waktu tertawa, tersenyum, melambaikan tangan, berjalan, makan, semua itu tertera didalam foto-foto yang ada ditangannya. Saat dia memperhatikan foto-fotonya yang diambil Ashraf secara diam-diam, tiba-tiba matanya menangkap sebuah foto yang menarik perhatiannya. Dengan cepat Alya meraih foto tersebut.
"Hah,, dia???"seru Alya.
Lagi-lagi dia terkejut melihat dua insan yang berada difoto. Ya, didalam foto terdapat gambar dirinya yang berdiri disamping seorang lelaki muda, lelaki berpeci putih yang menegurnya waktu itu. Tampak seperti diedit. Akan tetapi pipi Alya mendadak berubah warna, dari raut wajahnya yang tadi pucat menjadi kemerah-merahan karena malu melihatnya meski hasil pengeditan tapi tampak seperti orang yang 'couple' yang asli.
'Iyalah, kan? Aku tidak pernah berfoto berdua dengan ajnabi'
Kemudian tangannya beralih ke telepon genggam biru milik Ashraf dan mengutak atiknya. Disitu ada file foto dirinya, ada juga kumpulan foto Ashraf. Lalu dia memutar-mutar mp3 qasidah, video dan audio. Disaat Alya sedang mendengar audio yang diputarnya tiba-tiba telinganya menangkap suara yang menarik hatinya.
“Assalaamu ‘alaykum sahabatku, Alya.
Sebelumnya aku meminta maaf karena tidak jujur padamu sejak awal, tapi ketahuilah disaat perkenalan kita, sejak itulah hati ini merasa bahagia. Kenapa? Aku juga tidak tahu entah apa alasannya, Alya. Hanya saja hatiku berdebar disaat mendengarmu berbicara. Aku berusaha untuk menepis bayangmu disaat aku mengingatmu, namun aku tak bisa. Aku takut perasaan seorang sahabat ini berubah menjadi perasaan yang lain.
Berhari-hari aku mencari dirimu dan akhirnya tanpa sengaja aku menemukan gadis yang kucari, rasa ingin mengenal dan rindu itulah yang menyebabkan aku bertekad menemuimu dan mengikutimu secara diam-diam seperti seorang pengecut dan pecundang. Tapi itu semua kulakukan karena aku tidak ingin membuatmu merasa sedih jika kau tahu aku mengidap penyakit barah otak dan merasa kehilangan diriku disuatu saat nanti.Untuk menghilangkan perasaan yang tidak pantas bagiku aku minta petunjuk kepada Allah dalam istikharah dan berharap kau tercipta untukku, didunia dan diakhirat
Alya Az-Zahra. ﺍﺣﺒﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺨﻨﺔ , insya Allah.. Jadilah sosok penulis yang shalihah untuk melanjutkan impianku yang mungkin tidak bisa ku gapai, Alya. Wassalaamu ‘alaykum, wr.wb..”
Butiran kristal berjatuhan ke pipi Alya, dia tidak dapat menahan kesedihan dihatinya, dia juga terharu mendengar ungkapan hati orang yang sejujurnya dia cintai dalam diam.
"Ashraf Aulia, Uhibbuka fillah aidhan." Bisik Alya lirih seraya memeluk foto Ashraf erat-erat.
###
Tidak terasa sudah 3 tahun berlalu. Alya semakin sibuk dengan laptopnya yang bernama Kompi-Chan. Alhamdulillah, namanya sekarang sedang menjadi buah bibir penggemar karyanya. Saat ini cerpen-cerpen yang dibuatnya telah banyak menghiasi benerapa majalah. Antara lain majalah UMMI, Annida, dan lain-lain. Bahkan ada novel terbarunya yang lagi hot dipasaran, Kenal Tak Dikenal yang diambil dari pengalaman pribadinya.
"Waah,, selamat ya Alya, lagi-lagi pecinta novel ramai meminati karyamu." Ucap Damayanti.
Alya tersenyum mendengar ucapan sang penerbit bukunya sambil menjabat erat tangan Damayanti.
Perlahan-lahan Alya melangkah menuju masjid dan duduk diserambi masjid. Kemudian dia membuka tas dan mengeluarkan sebuah foto, Ashraf. Lalu membawa foto itu kedekapannya dan memejamkan mata.
'Ashraf, kau tahu? Sekarang aku sudah menggapai impianmu, semoga kau baik-baik saja disana. Kudo'akan agar kau ditempatkan ditempat orang-orang yang Dia ridhai.' ucap Alya lirih dengan mata basah.
Tak lama Alya pun berdiri dan masuk dedalam masjid untuk melaksanakan shalat Dhuha.
TAMAT.
Pena: @Lya Bidadari Abiy
Facebook : @Rindukan_syahid
   

Minggu, 22 April 2018

Bahagianya Deritaku



BAHAGIANYA DERITAKU
By: Rindukan Syahid

     Takdir yang mempertemukanku dengan makhluk Allah yang bernama Hamidi Al Qarniy yang sering dipanggil Amdi. Dalam beratus-ratus juta jiwa manusia dalam dunia ini, kenapa aku yang harus bertemu dengannya. Lelaki muda ini memang memiliki wajah yang tampan, teguh memegang prinsip, perfectionist dan tidak menyukai orang yang tidak disiplin seperti aku. Tapi bukan hanya dia, aku juga sangat membenci manusia yang seperti dia, setiap kali aku bertemu dengannya hatiku pasti akan berdegup kencang. Cinta? No...! Bukan karena cinta, tapi karena takut padanya. Ya, kadang aku berfikir dia ini hampir sama dengan singa yang mengaum kelaparan.

"Sudah lama, ya? Pasti capek menungguku, tapi tidak apa-apa karena kamu pasti sanggup menungguku, kan?" Katanya sambil mengambil tempat dihadapanku. Aku hanya diam dan mengalihkan perhatian pada pengunjung kafe yang sedang menikmati makanannya.

"Kenapa? Kamu merajuk? Kasihan sekali, nih aku belikan sesuatu untukmu," kata Amdi sambil mengeluarkan 5 buah permen yang belum pernah kumakan sebelumnya.

"Terimakasih," jawabku singkat dan memasukkan permen kedalam tas sandang ungu milikku.

"Now! Makan sekarang! Siapa yang menyuruhmu memasukkannya kedalam tas?" Bentaknya.
Sontak aku terkejut dan mengeluarkan kembali permen itu dari tasku.

"Andini, kamu tahu bahwa permen ini bukan permen biasa, jika kamu makan maka dalam waktu 20 menit denyut jantungmu akan melemah, urat sarafmu akan terputus, dan tidak lama kemudian kamu akan is dead, Mati. Jadi silahkan dinikmati, jika kamu melawan nyawa ibumu yang akan menjadi taruhan." kata Amdi sambil melemparkan senyuman sinis. Aku hanya menelan liur karena tidak bisa untuk menolak demi menyelamatkan ibu. Amdi memang selalu membuktikan setiap ucapannya. Jadi aku terpaksa menuruti ucapannya, satu persatu aku memasukkan permen kedalam mulut kemudian mengunyah dan menelannya.

"Alhamdulillah," 20 menit berlalu, tanpa aku sadari airmataku mengalir karena permen yang kumakan tidak memberi respon yang negatif.

"Hahaha... thanks girl karna udah berhasil ngilangin stressku. Kamu ini benar-benar polos atau bodoh, sih? Kamu fikir aku akan membunuhmu dihadapan orang banyak, hah?? Kamu harus tunggu hingga saatnya tiba." Katanya sambil tertawa mengejek. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan meninggalkannya. Airmataku bertambah deras karena nyawaku hanya barang mainan baginya. Ditengah jalan aku berjumpa dengan Muhammad Iqbal , sahabat kecilku. Dulu kami sangat akrab, dimana ada dia disitu ada aku, hanya saja sekarang kami menjaga jarak, ya lah kita kan udah besar, kalau bareng terus nanti malah jadi fitnah.

"Assalaamu'alaykum Andini, kamu kenapa? Kok nangis?," Iqbal menegurku yang sedang mengesat airmata.

"Wa'alaykumussalaam.. Nggak kenapa-napa kok, aku tadi menguap, ngantuk. Aku duluan ya," jawabku sambil mencoba tersenyum. Aku tahu meski dia melihatku tersenyuman tapi dia akan tahu bahwa aku lagi menyembunyikan sesuatu.

"Andini, aku mengenalmu nggak setahun dua tahun lagi, tapi sejak kecil. Kamu nggak usah berbohong, ini semua pasti karena dia kan?" tebak Iqbal. Aku mengangguk perlahan dan menatapnya lesu.

"Iq, aku pulang dulu ya,"
Aku terus berlalu namun Iqbal menghalangi jalanku.

"Andini, dalam dunia ini kamu bisa memilih, nggak ada seorangpun yang berhak memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau suka. Meskipun kamu sangat mencintai Amdi tapi nggak berarti kamu harus bersikap bodoh seperti ini, aku sarankan kamu putuskan saja hubunganmu dengannya. Kau tahu kan apa hukumnya pacaran? Tidak ada pacaran dalam Islam. Aku ngomong seperti ini karena kamu itu sahabatku, aku pernah mengalaminya makanya aku pandai gomong. Jangan karena dia kamu kehilangan identitimu sebagai muslimah. Assalaamu'alaikum. " kata Iqbal seraya melangkah pergi sambil tersenyum tawar.

"Wa'alaikumussalaam," jawabku perlahan sambil menahan tangisan.

'Iqbal, andai saja aku bisa memberitahumu segalanya, kamu pasti akan memarahiku lebih dari ini. Maafkan aku, aku terpaksa menyembunyikannya darimu.'

Andai saja aku bisa memberitahu Iqbal bahwa sebenarnya aku nggak pernah mencintai Amdi, buat apa coba aku berkorban untuk orang yang nggak kucintai, tapi aku terikat, terikat dengan penjara yang dia ciptakan untukku. Kalau hanya aku yang terlibat aku nggak peduli, tapi masalahnya bukan diriku saja.


"Andini, bangun Andini, ibumu memanggil, nih."
Mila, teman sekamarku memanggil-manggil dan menggerak-gerakkan bahuku. Aku tersadar lalu duduk.

"Ada apa, Mila?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata.

"Ada telpon, nih. Dari ibumu." Katanya sambil menyerahkan ponselku yang berwarna putih.

"Assalaamu'alaykum, ummi, maaf tadi aku tertidur." Kataku setelah menekan tombol hijau.

"Wa'alaykumussalaam, sayang. Nggak apa-apa, ummi faham kok kamu pasti capek kan? Ummi cuma mau nitip pesan kalo kamu ketemu dengan Amdi, bilang ama dia terimakasih karena udah mau beliin ummi obat demam. Dia baik banget." Kata ummi. Obat demam? Kenapa dia nggak bilang sama aku tadi, ya? Ya Allah, permainan apa lagi ini?

"Tunggu! Ummi jangan minum obat itu lagi, sebentar lagi aku kesana sekarang. Assalaamu'alaikum."
Tanpa menunggu jawaban dari ummi aku langsung mematikan panggilan dan langsung bergegas ke rumah.

Sekitar 30 menit aku sudah sampai dirumah.
"Obatnya mana, mi? Berikan!" Tanpa memberi salam aku langsung menerobos kedalam rumah, aku menebarkan pandangan ke seluruh isi rumah, kakiku melangkah dengan cepat menuju meja saat mataku menemukan yang aku cari lalu mengambil obat yang kuyakini pemberian Amdi dengan kasar, ummi terkejut dengan tindakanku.

"Ya Allah An.. Kamu kenapa? " ummi mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.

"Ummi udah minum obat ini, belum?" tanyaku dengan penuh rasa was-was tanpa bermaksud menjawab pertanyaan ummi.

"Udah kok, ummi udah minum obat itu, alhamdulillah sekarang udah mendingan. Emangnya kenapa sih?" Aku membelalakkan mataku, Ya Allah,, selamatkan ummiku.
"Apa? Ummi minum?, Ya Allah!"
"Iya, kenapa sih. Kamu aneh deh, tadi Amdi nelpon ummi, dia tanya ummi sehat nggak, yaa ummi jawab ummi lagi demam, trus dia langsung datang dan bawa ummi berobat ke klinik, gitu. " jelas ummi.
"Dia sempat megang obat ini ndak, mi?" tanyaku dengan suara bergetar, aku takut dia meletakkan sesuatu yang bisa menyebabkan nyawa ummi melayang.
"Nggak, tadi dia hanya mengantar ummi ke klinik dan membayar ongkos ummi naik taksi saat mau pulang, katanya ada tugasnya yang belum diselesaikannya,"
Fuuhh,,, selamat. Aku menghela nafas dengan lega.
"Kamu kenapa sih, An? Kamu tau nggak, dia itu cowok yang baik, alim lagi, ummi nggak pernah liat dia ninggalin shalatnya kalo dia kesini. Ummi yakin atas izin Allah dia pasti bisa melindungi kamu, melindungi kita, nak." Kata ummi sambil memegang bahuku. 'Melindungi kita? Ummi, kau tidak tau bahwa dia sedang menjalankan misinya untuk membalaskan dendamnya pada kita,' kataku dalam hati. Ummi tidak pernah tahu apa tujuan Amdi yang sebenarnya, dan aku nggak ingin ummi kenapa-napa.
"Dia memang baik ummi, tapi seharusnya aku yang bawa ummi berobat, bukan dia. Lain kali kalau ummi kenapa-napa, ummi telpon aku aja ya. Aku minta maaf ya ummi. Aku mau balik. Assalaamu'alaykum ummi. " Aku terus mencium tangan ummi lalu pulang naik taksi. Walaupun 30 menit tapi capeknya masyaa Allah,, Aku keluar dari taksi dan berjalan ke kost, tapi langkahku berhenti tatkala sebuah mobil BMW warna hitam menghampiriku, aku sangat mengenal mobil ini, mobil yang pemiliknya sangat kubenci.
"Andini tadi kamu kemana?" tanya Amdi sambil memandangku dengan mata teduhnya. Tapi dibalik matanya yang teduh tersimpan hati yang jahat.
"Ke rumah, kenapa?," jawabku tanpa memandangnya. Buat apa wajah tampan kalau hatinya busuk.
"Temani aku makan," Amdi memegang perutnya. Aku menghela nafas panjang. Kesal.
"Aku capek banget, Am. Lagi pula tugasku masih banyak numpuk di kost. Aku minta maaf, ya," aku terus berjalan.
"Capek, ya? Capek tapi bisa pulang ke rumah tanpa ada alasan yang jelas, seharusnya kalo capek itu kudu istirahat. Kalo kamu nggak mau, ya udah. Nggak usah bohong kenapa sih. Aku paling nggak suka sama orang yang bohongin aku. Kamu tau itu kan?" Amdi memandangku dengan wajah serius. Gulp.. aku menelan ludah.
"Aku nggak bohong, aku memang udah capek karena bolak balik ke rumah. Kalau kamu memang mau kutemanin, ya udah. Ayo," ajakku. Aku malas melawan perkataannya karena sudah pasti aku tidak akan menang.
"Sebenarnya aku nggak apa-apa sih pergi sendirian, tapi aku nggak suka liat kamu senang, karena kalo kamu menderita itu akan membuatku bahagia. Intinya deritamu adalah kebahagiaanku. " katanya tanpa memikirkan perasaanku. Ya Allah,, sakitnya hati aku ni. Tanpa menyahut aku langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
"Weyh,, kamu turun sekarang, siapa yang menyuruhmu duduk dibelakang? Kamu pikir aku sopirmu? Pindah ke depan!" arahnya dengan nada marah. Aku merungut lalu keluar kemudian masuk lagi dan duduk di jok depan. Sepanjang perjalanan aku hanya mendiamkan diri. Tidak lama kami sampai di sebuah restoran.
"Kau mau makan apa?" tanya Amdi sambil melihat daftar menu yang diberikan pelayan.
"Aku nggak lapar, aku hanya menemanimu makan,"
"Jadi, kenapa pulang?" tanya Amdi setelah memberikan pesanan kepada pelayan. Dia memandang tepat ke anak mataku, aku paling tidak suka pandangan matanya karena dapat membuat sakit hatiku bertambah.
"Tadi ummi nelpon, ummi bilang terimakasih karna kamu udah bawa ummi berobat, jadi aku pulang untuk memastikan apa ummi masih demam atau nggak."
"Oh gitu ya. Andini, aku udah berapa kali bilang bahwa aku nggak suka ama orang yang suka berbohong. Kenapa? Kamu takut kalau ibumu kuberi racun?" Amdi tersenyum sinis, dia fikir nyawa manusia ini mainan apa. Hatiku tambah sakit.
"Kenapa kamu belikan obat untuk ummi? Aku ini anaknya, hanya aku yang berhak membawa dia berobat. Dia tanggungjawabku." tanyaku dengan nada sedikit keras karena marah.
"Jadi kau membentakku hanya karena itu? Kau pikir kau siapa, hah!" balas Amdi marah. Aku terdiam seketika lalu menunduk kepala.
"Maafin aku, aku hanya ingin tau apa niatmu berbuat baik begitu pada ummi," aku memberanikan diri memandang anak matanya yang berwarna hitam kecoklatan. Tiba-tiba pelayan yang tadi muncul membawa nampan berisi minuman dan makanan.
"Kamu udah tau apa jawabannya kan, hanya saja kamu nggak tau kapan waktunya. Kamu nggak usah khawatir, saat ini ibumu masih bisa menghirup udara segar kok, lagi pula aku nggak mau mengotori tanganku dengan membunuh untuk saat ini. Tapi satu yang harus kau ingat, kapan saja nyawa ibumu yang tersayang bisa melayang. Kau faham?" Amdi meraih gelas yang berisi fresh orange lalu meneguknya sedikit. Aku menahan geram, dia menganggap nyawa ummi seperti mainan anak kecil yang apabila sudah rusak tinggal dibuang aja ke tempat sampah.
"Kalau gitu, kenapa kamu malah membeli ummi obat? Kalau kamu memang ingin membunuh, kau bunuh saja aku. Ummi nggak bersalah!" Lagi-lagi aku mengeraskan suaraku, kali ini lebih keras dari yang tadi membuat Amdi berhenti minum dan meletakkan gelasnya.
"Kalau ibumu demam, dia akan sakit dan kalau sakit mungkin dia bisa mati. Jadi, kalau ibumu mati karena sakit artinya bukan aku yang memnbunuhnya. Karena itulah aku menjaga ibumu dengan baik sampai saat itu tiba." Aku merasa nafasku tersekat dan airmataku keluar. Aku nggak sangggup kehilangan ummi, hanya ummi satu-satunya yang aku miliki. Ummi nggak bersalah, dia nggak kenal Amdi dan nggak tau apa niat Adnan yang sebenarnya.
"Tapi,, kalau kamu bisa menuruti perkataanku, oh tidak, lebih tepatnya menjaga hatiku, mungkin satu nyawa akan kulepaskan. Seperti yang kamu mau, aku akan melepaskan ibumu. Jadi, kamu harus menjadi anak yang manis, penurut dan penyabar. Kuharap penderitaanmu berkepanjangan," Amdi tersenyum sinis.
"Kamu benar-benar lelaki yang jahat, egois. Dasar pembunuh!" Tanpa sadar aku telah membangunkan singa yang tidur dengan perkataan yang keluar tanpa sengaja. Wajah Amdi yang berkulit cerah mendadak berubah menjadi kemerahan akibat menahan amarah. Dia menatapku dengan pandangan tajam, seolah-olah dia akan memakanku.
"Andini, setiap manusia memiliki hati, kamu pikir aku berubah seperti ini tanpa ada penyebabnya? Kau kira memaafkan orang yang telah membunuh kedua orangtuanya itu mudah? Apa dengan memaafkan mereka akan kembali hidup? Selama ini aku hidup sebatang kara, menjadi pengemis, pemulung. Aku bekerja keras hingga berhasil seperti sekarang ini. Karena apa? Karena aku ingin membalaskan dendamku. Aku ingin melihat orang yang membunuh ayah dan ibuku hidup dalam kesengsaraan, keterpurukan. Kamu tahu siapa? Ia adalah ibumu!,"
Amdi memukul meja makan. Aku yang terkejut dengan tindakannya hanya bisa mengucap dalam hati. Memang aku akui deritanya cukup menyayat hati tapi nggak seharusnya dia berbuat begini.
"Tapi Am kejadian itu bukan disengaja ummi. Itu takdir. Dia sendiri juga terluka parah. Kamu mengerti, kan."
Aku mengerutkan dahi, ummi memang nggak bersalah atas kejadian 10 tahun yang lalu.
"Kamu bisa mengatakan itu takdir dengan mudahnya, tapi kamu nggak akan bisa memahami keadaanku yang dulu. Didepan mataku keduanya meninggal, dan ibumu? Aku tahu dia juga terluka, tapi kenapa setelah itu dia nggak mencariku? Dia nggak bertanggung jawab atas kematian orangtuaku. Anak yang berusia 10 tahun bisanya apa? Tiap hari aku dipukul, disiram, dipaksa mengemis oleh preman-preman yang menemukanku. Aku akan membuat kalian merasakan apa yang aku rasakan!" bentak Amdi kuat, lalu dia menikam meja dengan garpu yang ada di piringnya.
Beberapa pasang mata mulai memperhatikan kami. Aku menundukkan kepala karena takut dibentak. Namun aku harus membela ummi yang juga menjadi korban kecelakaan.
"Ummi dan abi mencarimu, Am. Hanya saja mereka nggak menemukanmu." Belaku.
"Hahaha.. memang nggak akan ketemu kalau mereka mencari pake mata kaki, seharusnya pakai mata kepala. Kamu ingat baik-baik. Ibumu berhutang dua nyawa padaku, seharusnya ayahmu yang harus kubunuh agar kamu dapat merasakan nasib yang sama, tapi karena ayahmu sudah mati maka sebagai gantinya adalah kamu." Kata Amdi dengan nafas memburu, menahan amarah yang dirasakannya.
Aku akui memang kehidupan akan terasa pahit jika orang yang disayangi telah tiada, tapi bukan berarti dia dapat memutuskan siapa yang bersalah atas kejadian itu, siapapun pasti tidak ingin hal-hal yang buruk menimpa dirinya. Itu semua takdir.
Flashback
Satu tahun yang lalu Amdi masuk dalam kehidupanku. Dia mengenal ummi disaat ummi yang tengah menyeberang jalan hampir ditabraknya. Aku tahu itu semua merupakan sandiwara yang dilakukannya. Dia pura-pura baik di depan ummi untuk membalas dendam. Sampai di suatu hari aku mengetahui semuanya namun sampai saat ini aku tidak bisa melakukan apa-apa karena dia mengancamku akan membunuh sosok yang sangat kusayangi apabila kubongkar semua 'rahasianya'. Bahkan kepada Iqbal, satu-satunya sahabatku sejak dari kecil aku tidak berani untuk mengatakan..

Pagi ini aku bangun kesiangan dan telat ke kampus karena tadi malam Amdi mengizinkanku pulang setelah lewat pukul 23:30 WIB, sampai di kos pukul 00:10 WIB dan akhirnya tertidur setelah mengerjakan semua tugas yang diberikan dosen selama 4 jam. Untunglah masih sempat shalat shubuh walaupun dipenghujung waktu.
"Aduh, sakitnya!" Tiba-tiba kakiku tersandung. Aku berdiri sambil menahan rasa sakit di sekitar lutut dan telapak tanganku yang terluka. Saat aku mengangkat kepala dan melihat siapa pelakunya, ternyata...dia.
"Ups.. Sorry, aku nggak liat kau disitu." Amdi menyunggingkan senyuman sinisnya tanpa merasa bersalah padahal aku tahu bahwa dia sengaja melakukannya saat melihatku berjalan melewati koridor.
"Ya, nggak papa," sahutku sambil meniup telapak tanganku yang terluka.
"Makanya lain kali punya mulut tuh dijaga," Aku menatapnya sambil mengerutkan dahi. "Tadi malam." Sambungnya seraya menatap tajam. 'Oh.. jadi dia masih marah, ya' gumamku.
"Aku minta maaf karena tidak sengaja membentakmu." Ucapku perlahan sambil menundukkan pandangan.
"Sakit, ya? Sini biar kulihat." Amdi terus menarik tanganku lalu menekannya dengan kuat tepat di daerah yang terluka. Spontan airmataku mengalir karena tidak dapat menahan rasa sakit.
"Am, sakit.. Lepasin!" aku menarik tanganku kembali. Airmata kuhapus dengan punggung tangan kanan. "Sakit? Kalau begini sakit nggak?" tanya Amdi sambil menuangkan cairan yang tidak kutahu entah cairan apa ke telapak tanganku, yang kutahu luka ditanganku semakin terasa sakit dan pedih. Aku mengemam bibir berusaha menahan rasa sakit akan tetapi airmataku tidak bisa berhenti mengalir. Kulihat Amdi tersenyum puas. Aku membalikkan badan dan berjalan sekuat tenaga, tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan menarik pergelangan tanganku.
"Udah, sini biar ku obatin," Amdi menarikku menuju sebuah kursi lalu mendorongku hingga terduduk. Dia pun mengeluarkan sapu tangan berwarna peach dari sakunya lalu membersihkan luka ditangan dan lututku. Tidak hanya itu dia merogoh sesuatu dari kantong kemeja yang dipakainya lalu mengoleskannya kembali pada lukaku. Satu yang menjadi pertanyaan buatku, dia selalu berbuat baik pada akhir setiap perbuatan jahatnya. Benar-benar aneh.
"Lho, kok kamu bawa betadine? Emang kamu selalu bawa-bawa itu ya tiap hari?" tanyaku dengan heran. Dia menoleh lalu memasang tampang yang menyebalkan.
"Nggak, hanya hari ini, rencananya aku mau menabrakmu pakai mobil, tapi kamu datang terlambat. Akhirnya aku menyandung kakimu biar kamu jatuh tapi ternyata lukamu hanya sedikit, jadi nggak seru. Tapi nggak papa daripada kamu nggak terluka sama sekali," Jelasnya tanpa memikirkan perasaanku. Aku memalingkan pandanganku ke arah lain dengan perasaan geram bercampur sedih. 'Dasar manusia tidak berperasaan, jahat, aku benci kamu!' batinku.
"Wow.. Romantis banget, sih. Am, ini masih pagi lho," tegur Ryan tiba-tiba. Ryan merupakan sahabat Adnan yang memiliki perangai yang sama dengan Amdi, keduanya sama-sama kejam tapi Ryan tak sekejam Amdi. Bedanya Ryan suka memainkan perasaan perempuan, errm,, playboy, sedangkan Amdi tidak. Aku juga membenci Ryan karena dia sahabatnya Amdi, selain itu dia suka mempermalukanku. Pokoknya aku membenci segala yang berkaitan dengan Amdi termasuk baju yang dia pakai, mobil, temannya, rumahnya dan lain-lain yang ada sangkut pautnya dengan Amdi.
"Kalo kita udah sayang ama seseorang apapun pasti sanggup kita lakukan, bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun. Iya kan, Andini?" Amdi memandangku dengan senyuman sinis, tak sanggup melihat pandangannya yang menyakitkan hati aku segera memalingkan wajahku ke arah lain.
"So sweet! Benar-benar dah, kalo Adnan udah folinlop ama cewek memang romantis abis ya, Andini, kamu bener-bener beruntung karena pacaran ama Amdi coz banyak lho cewek yang iri ama kamu." Kata Ryan. Erk? Aku mengerutkan dahi lalu mataku membulat.
"Apa? Pacaran? Yang benar aja, aku nggak..., aduh!" belum selesai aku bicara Amdi langsung menekan lututku yang sakit dengan kuat.
"Nggak apa? Apa kamu masih menyangkalnya?" tanya Amdi sambil memandangku dengan pandangan yang mengisyaratkan sesuatu. Aku menundukkan wajah. Terdengar tawa Ryan yang menambah sakit hatiku.
"Hahaha, udah deh, kamu nggak usah malu-malu mengakuinya, semua udah tau kok kalo kalian udah pacaran. Ternyata diam-diam kamu nge-fans juga ya ama Amdi."
'Tunggu, sejak kapan aku nge-fans padanya?' Aku nggak pernah menyukai orang yang menghuru harakan hidupku, instead yang kurasakan hanya ada rasa benci.
"Tapi aku bingung lho, Am. Kok kamu mau sih ama cewek kayak dia? Padahal banyak lho cewek-cewek yang cantik naksir ama kamu,"
"Yah,, mau gimana lagi, Yan. Aku nggak kayak kamu. Lagian aku udah capek menghindarinya. Dia terus mengemis padaku supaya jadi pacarnya dan mau melakukan apa aja untukku, "
"What? Jadi kamu terpaksa pacaran ama dia?" tanya Ryan. Amdi mengangguk .
"Hah.. ternyata kamu sama aja ya ama cewek yang lain. Kupikir kamu beda coz keliatan alim. Aku nggak nyangka kamu serendah itu, Andini."
Tess... Airmataku berlinang membasahi pipi. 'Ya Allah.. kuatkan hatiku?' perlahan aku berdiri, luka yang perih tidak lagi kurasakan karena hatiku lebih perih.
"Hentikan! Itu semua fitnah!" teriakku.
"Aku benci kalian!" sambungku sambil meninggalkan mereka.
Niatku yang ingin belajar terbantut karena fitnah yang Amdi ciptakan. Akhirnya aku berjalan menuju kamar mandi dan menangis di dalamnya. Berselang sekitar 15 menit aku keluar dengan mata sembab dan terkejut melihat sosok yang kubenci berdiri di sana.
"Apa lagi?" tanyaku dengan suara parau.
"Apanya yang apa hah? Kamu tau apa salahmu? Berani-beraninya kamu membantah omonganku."
"Salahku? Kamu tu yang salah, seenaknya aja kamu menabur fitnah tentang aku, asal kamu tahu ya, aku nggak pernah menyukaimu walau sedikitpun, apalagi sampai merendahkan muruahku." marahku sambil melangkah menuju lokal. Aku tidak tahan lagi berhadapan dengannya yang terus-terusan membuatku sakit hati.
"Then, jadikan fitnah itu bukan fitnah," bisik Amdi perlahan ke telingaku. Seketika aku mematung karena terkejut, bukan karena ucapannya tapi karena jarak yang hanya beberapa inchi dari wajahnya ke telingaku. Sambil menyunggingkan sebuah smirk Amdi pun berjalan ke tempat parkir dan memasuki mobilnya lalu pergi.
Sehabis mata kuliah aku pergi ke perpustakaan. Bukan hanya untuk membaca tetapi untuk merasakan Air Conditioner (AC) nya juga dan berharap hatiku juga berubah menjadi sejuk. Tanganku bergerak lincah mencari buku Laa Tahzan di rak buku yang tersusun rapi.
"Assalaamu'alaykum, lagi nyari buku ini, ya?" tanya seseorang dari arah belakang. Aku menoleh dan melihat Iqbal bersandar pada rak buku sambil tersenyum memegang buku yang kucari.
"Wa'alaykumussalaam. Iya, jadi kamu yang ngambil bukunya, kirain siapa coz aku belum selesai baca buku itu." Jawabku sambil membalas senyumannya.
"Hehehe.. Jangan marah, nih." Kata Iqbal sambil menyodorkan buku tersebut. Aku hanya tersenyum dan mengambil bukunya lalu duduk kembali.
"Emang kamu nggak ada makul hari ini?" tanyaku tanpa melihatnya. Tanganku sibuk mencari halaman buku yang ingin kubaca selanjutnya. Iqbal menarik sebuah kursi lalu melabuhkan punggungnya.
"Nggak, makanya aku kesini."
"Coba kalo aku jadi kamu, pasti aku udah berhibernasi di kamar," kataku. Iqbal pun tertawa. "Dasar burung hantu, taunya cuma molor melulu. Untung aja kamu nggak gemuk kayak gajah duduk." Jawab Iqbal sambil melemparku dengan bola kertas yang dibuatnya. Aku cuma cengengesan.

"Nanti sore kamu free nggak?" tanya Iqbal

"Mungkin, coz makul hanya ada siang. Kenapa?"

"Aku ada match (pertandingan),"

"Taekwondo?"

"Ya"

"Kapan?"

"In Syaa Allah ba'da ashar,"

"Ooo.. Ok." kataku singkat. Aku tahu kalau masalah bela diri dia memang jago. Dia merupakan pemegang sabuk hitam taekwondo. Dulu waktu TK dia sering menolongku disaat teman-temanku yang nakal menjahiliku. Iqbal juga pernah membuat pencuri yang merampok tasku menjadi babak belur hingga sampai sekarang dia kuanggap sebagai hero ku.

"Jangan lupa ya, seperti biasa sekalian bawa cheesecake," kata Iqbal seraya menampakkan giginya yang tersusun rapi. Iqbal pun membayangkan betapa lezatnya cheesecake kesukaannya lumer dilidah. Nyummiii...

"Beres, tapi kalo kamu kalah ntar kamu aja deh yang beli Cheesecake buatku. Hihihi.."

"Tenang aja, pasti menang kok," Iqbal tersenyum bangga sambil menaik-naikkan alisnya.

"PD banget sih, ntar kalo kamu kalah baru tau rasa, kah kah kah.." tanpa sadar aku tertawa dengan keras hingga menimbulkan perhatian orang-orang. Sejak Amdi muncul dalam hidupku banyak orang yang menjauhkan diri dariku terlebih-lebih mahasiswi karena aku selalu bersama Amdi. Tapi beruntunglah masih ada Iqbal yang selalu setia ada disaat aku suka dan duka.

"Weyh, suaramu itu lho, aduh.. kau lupa kita ada dimana? Malu tau," tegur Iqbal sambil menutupi wajahnya dengan buku yang ditangannya. Tiba-tiba sebuah perasaan lain muncul dihatiku.

"Kenapa? Kamu juga malu ya berteman denganku? Ok, Fine. Pergilah, biarin aku sendiri." Kataku dengan sakit hati. Entah sejak kapan kenapa hati ini mudah sensitif. Mataku terasa panas dan pandanganku buram.

"Ya Allah, kamu kok ngomongnya gitu sih?" tanyanya dengan wajah terkejut. Aku diam dan memalingkan wajah.

"Andini, kita udah sahabatan sejak kecil tau, meski nggak ada satu orang pun yang mau berteman denganmu, aku tetap jadi sahabatmu. The real friend. Alaa An, jangan ngambek dong." Bujuk Iqbal. Aku tetap diam sambil menghapus butiran airmata yang jatuh.

"Andini,, jangan nangis dong. Ok, aku minta maaf, aku bener-bener nggak tau kalo kamu sensitif tentang itu. Ntar aku beliin es krim deh buat kamu." Iqbal terus membujukku. Mendengar kata 'es krim' aku langsung tersenyum manis.

"Aku mau dua!" kataku sambil mengangkat kedua tanganku lalu membuat peace tepat didepan Iqbal.

"Itu dua apa empat?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Sadar kalau kedua tanganku membuat tanda peace buru-buru aku menurunkan tangan kiriku seraya tersenyum untuk menutupi rasa malu. Huhuhu..

"Hehehe.. dua aja deh, ntar yang dua lagi untuk besok." Jawabku cengengesan. "Nggak ada, just one." Bantah Iqbal.

"Nggak mau satu, aku mau dua. Titik nggak pake koma." Tegasku sambil membuang muka sambil cemberut.

"Hmm baik tuan putri, hamba mengalah." Sahut Iqbal sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. 'Iqbal, kamu benar-benar sabahat yang baik, aku bersyukur bisa mengenalmu.' Bathinku.

"Hmm.. aku mau nanya sesuatu sama kamu, ermm berita ini udah jadi viral, tapi aku nggak percaya kok, aku cuma mau mastiin aja," kata Iqbal dengan nada serius. Aku mengubah posisi dudukku dari yang menopang dagu kini duduk tegak.

"Apa? Tanya aja,"

"Ermm,, apa benar Amdi terpaksa pacaran sama kamu lantaran kamu terus mengemis padanya? Dan katanya kamu juga bersedia melakukan apapun yang dia mau, erm,,termasuk masalah harga diri?" tanya Iqbal dengan ragu-ragu. Sontak, aku terkejut dengan pertanyaannya.

"Apa??? Siapa yang nyebarin fitnah ini?" aku balik bertanya. Tanganku ku genggam erat, perasaan marah meledak dalam hati. Dengan ragu-ragu Iqbal menjawab. "Ryan, dia up berita itu ke grup WhatsApp. Kurasa semua rekan grup sudah membacanya. Tapi kamu tenang aja, aku nggak bakalan percaya kok sama Ryan, karena aku lebih mengenalmu dibanding mereka." Jawab Iqbal. Aku tertunduk lemas, masalah Ryan pasti masalah Amdi juga, karena mereka 2 in 1, pasti Adnan yang menyuruh Ryan melakukan ini.

"Andini, aku tahu kamu pasti sedih, gimana kalau kali ini biar aku yang menyetelkan masalah ini?" tawar Iqbal sambil memandangku dengan tatapan yang serius dan marah. Aku menelan liur, melihat tatapan Iqbal yang sudah sangat serius pasti akan berakhir dengan kekerasan, aku sudah faham dengan sikap Iqbal yang satu ini, dia nggak akan segan-segan membuat orang yang menyakitiku berakhir di rumah sakit. Selain sahabat aku juga sudah menganggapnya seperti abang sendiri.

"Udah, nggak apa-apa kok, Iq. In Syaa Allah aku bisa kok mengatasinya lama-lama gosip ini pasti hilang." Sahutku sambil berusaha kuat didepan Iqbal. Aku tersenyum untuk menutupi sakit hatiku. Hati siapa yang nggak akan sakit bila di fitnah begitu saja, apalagi yang membuat fitnah itu orang yang dibenci.

Sampai di kos aku langsung memasukkan es krim rasa vanilla dan coklat yang dibelikan Iqbal ke dalam freezer, lalu menuju kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur, lelah yang kurasakan membuat mataku terpejam dan akhirnya aku tertidur.

Seperti janjiku pada Iqbal tadi siang, selesai shalat ashar aku bergegas ke tempat pertandingan Iqbal. Tiba disana pertandingan sudah mulai, aku mengarahkan pandangan keseluruh penjuru mencari Iqbal dan aku menemukannya berdiri di samping kursi yang tidak jauh dariku sambil memegang tin minuman.

“Hoi..!” seruku sambil menepuk punggungnya dengan handbag. Iqbal terkejut lalu menoleh kearahku. Tin minuman yang dipegangnya terjatuh.

“Ya Allah, Andini, bisa nggak sih berhenti membuat jantungku hampir copot? Udah nggak pake salam lagi,” marah Iqbal dengan nada geram. Sesekali tangannya mengusap dadanya sambil mengheka nafas. Kelakuannya membuatku tertawa.

“Hahaha.. Iya,,iya. Assalaamu’alaykum tuan Iqbal Hakim,” kataku sambil tertawa.

“Wa’alaykumussalaam, nah gini kan bagus.” Sahut Iqbal.

Tiba-tiba.. PUK..!!

“Aduh...!” jeritku sambil mengusap kepalaku yang diberi ‘hadiah toya-toya’ oleh Iqbal.

“Lain kali diulang lagi ya, besok-besok aku bakalan kasih hadiah yang lebih besar,” kata Iqbal sambil menatapku sambil cengar cengir.

Aku membalas tatapannya dengan kesal lalu mencibir. Iqbal lalu menggelengkan kepalanya sambil tertawa pelan.

“Aku kira kamu nggak jadi datang,” kata Iqbal sambil menarik kursi lalu mempersilahkanku duduk.

“Mana bisa nggak datang, ntar ada orang yang ngambek sampe nggak ingat dunia kalo aku nggak datang, aku nggak pandai membujuk big baby,” ujarku sesuka hati. Iqbal mengerling kesal, lalu PUK..!!

“Adoooi,, sakit tau,” kesalku.

Sekali lagi aku mengusap kepalaku yang ditutupi kerudung akibat ‘hadiah toya-toya’ Iqbal. Iqbal cuma diam dan dengan rasa tanpa bersalah karena memukul kepalaku dengan tin minumannya dia mengambil tempat duduk disebelahku.

“Kapan giliranmu?” tanyaku.

Aku melemparkan pandangan ke pemain yang sedang bertarung. Keduanya sama-sama memakai sabuk hitam.

“Sebentar lagi, jika salah satunya menang, maka dialah yang akan jadi lawanku.” Jawab Iqbal. Aku melirik obi yang dipakainya, hitam.
(Author: Oh ya, sedikit perkenalan tentang taekwondo, Obi/sabuk dalam taekwondo ada tingkatannya lho, mulai dari putih, kuning, hijau, biru, merah dan terakhir adalah hitam. Sabuk hitam melambangkan kematangan penguasaan taekwondo).

“Andini,” satu suara terdengar dari belakangku. Aku terkejut mendengar suara yang memanggil namaku.

‘Amdi, kenapa dia disini?’ tanyaku dalam hati.

Serentak aku dan Iqbal menoleh kebelakang. Suara tepuk tangan penonton bergema saat salah seorang petarung berhasil mengalahkan lawannya.

“Am, mimpi apa kamu datang ke sini?” tegur Iqbal.

“Nggak ada, cuma mau lihat sampe dimana kemampuanmu dalam bela diri,” sahut Amdi dengan senyum sinis.

“Well, Enjoy the show then. Aku pinjam Andini dulu ya,” kata Iqbal sambil membalas senyuman sinis Amdi dengan senyuman manis.

“Bentar, siapa yang ngizinin kamu minjam dia?” Amdi mendekati kami.

“Nggak lama kok, lagian dia sahabatku jadi kamu nggak usah cemburu.” Kata Iqbal sambil menepuk bahu Amdi.

“Aku nggak ngizinin dia dekat dengan laki-laki manapun, meski sahabatnya. Aku hanya ingin dia ada bersamaku.” Bidas Amdi sambil menolak tangan Iqbal dari bahunya.

“She’s mine,” sambung Amdi sambil menatapku tajam. Melihat situasi seperti ini aku terpaksa mengalah.

“Okay fine. Aku ikut denganmu,” kataku sambil menghela nafas panjang.

“Iqbal, maafin aku ya,” ucapku dengan rasa bersalah pada Iqbal.

“Nggak papa, kalo gitu aku pergi ya, sekarang giliranku,”

Iqbal tersenyum tawar lalu mengambil langkah menuju arena pertandingan. Aku tahu dia pasti kecewa karena disaat gilirannya tampil aku malah memilih mengikuti Amdi.

“Dari tadi kek,” kata Amdi sambil manatap sinis ke arah Iqbal yang pergi. Aku nggak habis pikir dengan sikap Amdi.

“Kamu benar-benar jahat, ya. Kamu suka melihatku sengsara. Kamu udah nyebar fitnah sekarang kamu malah membuat sahabatku satu-satunya ikut membenciku.

"Kamu puas???” luahku dengan amarah yang membara. Aku nggak peduli jika semua orang membenciku tapi hatiku tambah hancur disaat Iqbal ikut membenciku karena Amdi.

“Memang itu tujuanku yang sebenarnya, membuatmu sengsara. Asal kamu tahu ya, hatiku sakit jika melihatmu bahagia. Ayo pulang!” perintah Amdi sambil menarik tanganku. Aku menarik tanganku.

“Nggak mau, pergi aja sendiri.” Bantahku sambil menyeka airmata.

“Oh, jadi Iqbal lebih penting daripada aku?” tanya Amdi sambil melotot marah.

“Memang, dia lebih penting daripada kamu, dia sahabatku dan kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku.” Jawabku dengan berani.

Amdi mengertakkan giginya dan mengepal tangannya dengan kuat. Aku tahu dia pasti marah karena aku sudah melawan perkataannya.

“Baik, mungkin dia lebih penting juga daripada nyawa ibumu. Silahkan duduk disini dan tunggu tunggu panggilan kalo ibumu akan dikuburkan,” ancam Amdi seraya meninggalkanku.

Mendengar ucapannya aku tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikutinya. Aku mengerling Iqbal yang turut melihatku meninggalkan kursi penonton. ‘Iqbal, maafkan aku’ kataku dalam hati.

Habis makan Amdi mengantarku ke kos, dia memaksaku makan walaupun aku nggak mood makan, tapi aku bersyukur karena habis makan dia langsung mengajakku pulang. Aku meraih ponsel di atas meja lalu memeriksa apa ada balasan chat yang kukirim pada Iqbal di whatsapp. Nihil. Aku langsung mendail nomor Iqbal.
Aku langsung mendail nomor Iqbal.

"Assalaamu'alaykum," ucapku memberi salam.

"Wa'alaykumussalaam," jawab Iqbal diseberang telepon.

"Lagi ngapain tu?" tanyaku.

"Nonton,"

"Gimana pertandingannya? Menang nggak?"

"Menang," jawabnya dengan ringkas.

"Alhamdulillah, memang kamu benar-benar hebat ya, nanti kubelikan cheesecake sebagai hadiah," kataku mengambil hatinya. Kuharahap dengan cheesecake hatinya luluh.

"Nggak usah, aku udah kenyang," jawabnya dengan nada dingin.

"Kamu masih marah ya?" tanyaku dengan berkecil hati. Biasanya kalau aku bilang cheesecake dia nggak akan sabar menunggu dan langsung bilang 'tunggu, aku akan akan sampai disana kurang lebih 15 menit lagi', tapi sekarang dia malah acuh tak acuh.

"Nggaklah,"

"Tapi dari kata-katamu aku tau kamu masih marah,"

"Mmm.."

"Aku minta maaf," ucapku separuh menangis.

"Ya, aku mau tidur," jawabnya tetap dingin.

"Kamu ngambek ya?"

"Nggak lah,"

"Tapi kayaknya kamu nggak mau ngomong sama aku," kataku sambil menahan tangis. Kudengar Iqbal menghela nafas panjang.

"Aku bukannya apa Andini, kamu itu sahabatku sejak kecil, aku tau kamu sayang sama Amdi, tapi jangan sampai kamu mengabaikan kawan sendiri," kata Iqbal mengeluarkan uneg-unegnya.

"Aku nggak bermaksud mengabaikan kamu,"

"Trus yang tadi itu apa? Sebelumnya kamu nggak pernah pergi disaat giliranku." Bentak Iqbal.

"Maaf, tadi Amdi mengajakku makan," jawabku dengan rasa bersalah.

"Emang nggak bisa tunggu ya sampai selesai match? Udah lah, dulu aku juga pernah pacaran tapi aku nggak sampai mengabaikanmu, aku tetap mengutamakan persahabatan kita. Tapi sejak ada Amdi kamu menganggapku seperti sampah,"

"Maaf, aku benar-benar terpaksa,"kataku jujur.
Kalau bukan karena Amdi mempermainkan nyawa ummi udah lama kutendang dia.

"Terpaksa? Dia baru jadi pacarmu bukan suamimu, emang kau tau dia udah pasti jodohmu karena itu kamu melayannya seperti raja? Dah lah, kamu bilang kamu terpaksa kan? Aku nggak mau nambah bebanmu. Assalaamu'alaykum." Iqbal terus mematikan telepon.

Aku hanya mampu menjawab salamnya dalam hati. Airmataku akhirnya tertumpah juga. Aku terjelupuk ke lantai sambil menagis.

Aku hanya mampu menjawab salamnya dalam hati. Airmataku akhirnya tertumpah juga. Aku terjelupuk ke lantai sambil menagis.

'Amdi, sekarang aku udah kehilangan sahabatku, tolong jangan buat aku juga kehilangan ummiku,' rintihku dalam tangis.

Kepalaku semakin berat, pandanganku memudar dan perlahan aku tidak sadarkan diri.

********








Sabtu, 21 April 2018

Biarkan Cinta Bersulam Jihad

"Biarlah aku dekap rapat perasaanku ini,,

Biarlah aku tutup rapat hingga Allah mengizinkan pertemuan kita,,

Namun jika memang engkau bukan tercatat untukku,

Jika memang engkau hanya hiasan duniaku yang sementara,

sungguh aku yakin Allah akan menghapus cinta dalam diamku padamu.

Allah akan menghilangkan perasaanku untukmu.

Dia akan memberikan rasa yang lebih indah pada orang yang paling tepat.

Begitulah kuasa-Nya,

Sesungguhnya Dia lah yang membolak-balikkan hati hamba-Nya...

"Biarkan Cinta Bersulam Jihad"
Tag: Grup Jihad Fii Sabilillah

Rabu, 18 April 2018

Salahkah Aku Kagumi?

Tak salah apabila kita kagum dengan keindahan ciptaan Allah. Namun jangan terlalu takjub dengan keindahan karena pandangan mata sering menipu.
Sesungguhnya pandanglah dengan hati karena disitulah letak keikhlasan.. 😊👍👍

Mahabbah_tahta_mahabbatillah
Biarkan_cinta_bersulam_jihad
rindukan_syahid


Rukun Islam

Buniyal Islam هذه القصيدة بني الإسلام ۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰ بني الإسلام علی خمس، خمسة أرگان فی الدين Buniyal Islâmu ‘a...