Minggu, 22 April 2018

Bahagianya Deritaku



BAHAGIANYA DERITAKU
By: Rindukan Syahid

     Takdir yang mempertemukanku dengan makhluk Allah yang bernama Hamidi Al Qarniy yang sering dipanggil Amdi. Dalam beratus-ratus juta jiwa manusia dalam dunia ini, kenapa aku yang harus bertemu dengannya. Lelaki muda ini memang memiliki wajah yang tampan, teguh memegang prinsip, perfectionist dan tidak menyukai orang yang tidak disiplin seperti aku. Tapi bukan hanya dia, aku juga sangat membenci manusia yang seperti dia, setiap kali aku bertemu dengannya hatiku pasti akan berdegup kencang. Cinta? No...! Bukan karena cinta, tapi karena takut padanya. Ya, kadang aku berfikir dia ini hampir sama dengan singa yang mengaum kelaparan.

"Sudah lama, ya? Pasti capek menungguku, tapi tidak apa-apa karena kamu pasti sanggup menungguku, kan?" Katanya sambil mengambil tempat dihadapanku. Aku hanya diam dan mengalihkan perhatian pada pengunjung kafe yang sedang menikmati makanannya.

"Kenapa? Kamu merajuk? Kasihan sekali, nih aku belikan sesuatu untukmu," kata Amdi sambil mengeluarkan 5 buah permen yang belum pernah kumakan sebelumnya.

"Terimakasih," jawabku singkat dan memasukkan permen kedalam tas sandang ungu milikku.

"Now! Makan sekarang! Siapa yang menyuruhmu memasukkannya kedalam tas?" Bentaknya.
Sontak aku terkejut dan mengeluarkan kembali permen itu dari tasku.

"Andini, kamu tahu bahwa permen ini bukan permen biasa, jika kamu makan maka dalam waktu 20 menit denyut jantungmu akan melemah, urat sarafmu akan terputus, dan tidak lama kemudian kamu akan is dead, Mati. Jadi silahkan dinikmati, jika kamu melawan nyawa ibumu yang akan menjadi taruhan." kata Amdi sambil melemparkan senyuman sinis. Aku hanya menelan liur karena tidak bisa untuk menolak demi menyelamatkan ibu. Amdi memang selalu membuktikan setiap ucapannya. Jadi aku terpaksa menuruti ucapannya, satu persatu aku memasukkan permen kedalam mulut kemudian mengunyah dan menelannya.

"Alhamdulillah," 20 menit berlalu, tanpa aku sadari airmataku mengalir karena permen yang kumakan tidak memberi respon yang negatif.

"Hahaha... thanks girl karna udah berhasil ngilangin stressku. Kamu ini benar-benar polos atau bodoh, sih? Kamu fikir aku akan membunuhmu dihadapan orang banyak, hah?? Kamu harus tunggu hingga saatnya tiba." Katanya sambil tertawa mengejek. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan meninggalkannya. Airmataku bertambah deras karena nyawaku hanya barang mainan baginya. Ditengah jalan aku berjumpa dengan Muhammad Iqbal , sahabat kecilku. Dulu kami sangat akrab, dimana ada dia disitu ada aku, hanya saja sekarang kami menjaga jarak, ya lah kita kan udah besar, kalau bareng terus nanti malah jadi fitnah.

"Assalaamu'alaykum Andini, kamu kenapa? Kok nangis?," Iqbal menegurku yang sedang mengesat airmata.

"Wa'alaykumussalaam.. Nggak kenapa-napa kok, aku tadi menguap, ngantuk. Aku duluan ya," jawabku sambil mencoba tersenyum. Aku tahu meski dia melihatku tersenyuman tapi dia akan tahu bahwa aku lagi menyembunyikan sesuatu.

"Andini, aku mengenalmu nggak setahun dua tahun lagi, tapi sejak kecil. Kamu nggak usah berbohong, ini semua pasti karena dia kan?" tebak Iqbal. Aku mengangguk perlahan dan menatapnya lesu.

"Iq, aku pulang dulu ya,"
Aku terus berlalu namun Iqbal menghalangi jalanku.

"Andini, dalam dunia ini kamu bisa memilih, nggak ada seorangpun yang berhak memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau suka. Meskipun kamu sangat mencintai Amdi tapi nggak berarti kamu harus bersikap bodoh seperti ini, aku sarankan kamu putuskan saja hubunganmu dengannya. Kau tahu kan apa hukumnya pacaran? Tidak ada pacaran dalam Islam. Aku ngomong seperti ini karena kamu itu sahabatku, aku pernah mengalaminya makanya aku pandai gomong. Jangan karena dia kamu kehilangan identitimu sebagai muslimah. Assalaamu'alaikum. " kata Iqbal seraya melangkah pergi sambil tersenyum tawar.

"Wa'alaikumussalaam," jawabku perlahan sambil menahan tangisan.

'Iqbal, andai saja aku bisa memberitahumu segalanya, kamu pasti akan memarahiku lebih dari ini. Maafkan aku, aku terpaksa menyembunyikannya darimu.'

Andai saja aku bisa memberitahu Iqbal bahwa sebenarnya aku nggak pernah mencintai Amdi, buat apa coba aku berkorban untuk orang yang nggak kucintai, tapi aku terikat, terikat dengan penjara yang dia ciptakan untukku. Kalau hanya aku yang terlibat aku nggak peduli, tapi masalahnya bukan diriku saja.


"Andini, bangun Andini, ibumu memanggil, nih."
Mila, teman sekamarku memanggil-manggil dan menggerak-gerakkan bahuku. Aku tersadar lalu duduk.

"Ada apa, Mila?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata.

"Ada telpon, nih. Dari ibumu." Katanya sambil menyerahkan ponselku yang berwarna putih.

"Assalaamu'alaykum, ummi, maaf tadi aku tertidur." Kataku setelah menekan tombol hijau.

"Wa'alaykumussalaam, sayang. Nggak apa-apa, ummi faham kok kamu pasti capek kan? Ummi cuma mau nitip pesan kalo kamu ketemu dengan Amdi, bilang ama dia terimakasih karena udah mau beliin ummi obat demam. Dia baik banget." Kata ummi. Obat demam? Kenapa dia nggak bilang sama aku tadi, ya? Ya Allah, permainan apa lagi ini?

"Tunggu! Ummi jangan minum obat itu lagi, sebentar lagi aku kesana sekarang. Assalaamu'alaikum."
Tanpa menunggu jawaban dari ummi aku langsung mematikan panggilan dan langsung bergegas ke rumah.

Sekitar 30 menit aku sudah sampai dirumah.
"Obatnya mana, mi? Berikan!" Tanpa memberi salam aku langsung menerobos kedalam rumah, aku menebarkan pandangan ke seluruh isi rumah, kakiku melangkah dengan cepat menuju meja saat mataku menemukan yang aku cari lalu mengambil obat yang kuyakini pemberian Amdi dengan kasar, ummi terkejut dengan tindakanku.

"Ya Allah An.. Kamu kenapa? " ummi mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.

"Ummi udah minum obat ini, belum?" tanyaku dengan penuh rasa was-was tanpa bermaksud menjawab pertanyaan ummi.

"Udah kok, ummi udah minum obat itu, alhamdulillah sekarang udah mendingan. Emangnya kenapa sih?" Aku membelalakkan mataku, Ya Allah,, selamatkan ummiku.
"Apa? Ummi minum?, Ya Allah!"
"Iya, kenapa sih. Kamu aneh deh, tadi Amdi nelpon ummi, dia tanya ummi sehat nggak, yaa ummi jawab ummi lagi demam, trus dia langsung datang dan bawa ummi berobat ke klinik, gitu. " jelas ummi.
"Dia sempat megang obat ini ndak, mi?" tanyaku dengan suara bergetar, aku takut dia meletakkan sesuatu yang bisa menyebabkan nyawa ummi melayang.
"Nggak, tadi dia hanya mengantar ummi ke klinik dan membayar ongkos ummi naik taksi saat mau pulang, katanya ada tugasnya yang belum diselesaikannya,"
Fuuhh,,, selamat. Aku menghela nafas dengan lega.
"Kamu kenapa sih, An? Kamu tau nggak, dia itu cowok yang baik, alim lagi, ummi nggak pernah liat dia ninggalin shalatnya kalo dia kesini. Ummi yakin atas izin Allah dia pasti bisa melindungi kamu, melindungi kita, nak." Kata ummi sambil memegang bahuku. 'Melindungi kita? Ummi, kau tidak tau bahwa dia sedang menjalankan misinya untuk membalaskan dendamnya pada kita,' kataku dalam hati. Ummi tidak pernah tahu apa tujuan Amdi yang sebenarnya, dan aku nggak ingin ummi kenapa-napa.
"Dia memang baik ummi, tapi seharusnya aku yang bawa ummi berobat, bukan dia. Lain kali kalau ummi kenapa-napa, ummi telpon aku aja ya. Aku minta maaf ya ummi. Aku mau balik. Assalaamu'alaykum ummi. " Aku terus mencium tangan ummi lalu pulang naik taksi. Walaupun 30 menit tapi capeknya masyaa Allah,, Aku keluar dari taksi dan berjalan ke kost, tapi langkahku berhenti tatkala sebuah mobil BMW warna hitam menghampiriku, aku sangat mengenal mobil ini, mobil yang pemiliknya sangat kubenci.
"Andini tadi kamu kemana?" tanya Amdi sambil memandangku dengan mata teduhnya. Tapi dibalik matanya yang teduh tersimpan hati yang jahat.
"Ke rumah, kenapa?," jawabku tanpa memandangnya. Buat apa wajah tampan kalau hatinya busuk.
"Temani aku makan," Amdi memegang perutnya. Aku menghela nafas panjang. Kesal.
"Aku capek banget, Am. Lagi pula tugasku masih banyak numpuk di kost. Aku minta maaf, ya," aku terus berjalan.
"Capek, ya? Capek tapi bisa pulang ke rumah tanpa ada alasan yang jelas, seharusnya kalo capek itu kudu istirahat. Kalo kamu nggak mau, ya udah. Nggak usah bohong kenapa sih. Aku paling nggak suka sama orang yang bohongin aku. Kamu tau itu kan?" Amdi memandangku dengan wajah serius. Gulp.. aku menelan ludah.
"Aku nggak bohong, aku memang udah capek karena bolak balik ke rumah. Kalau kamu memang mau kutemanin, ya udah. Ayo," ajakku. Aku malas melawan perkataannya karena sudah pasti aku tidak akan menang.
"Sebenarnya aku nggak apa-apa sih pergi sendirian, tapi aku nggak suka liat kamu senang, karena kalo kamu menderita itu akan membuatku bahagia. Intinya deritamu adalah kebahagiaanku. " katanya tanpa memikirkan perasaanku. Ya Allah,, sakitnya hati aku ni. Tanpa menyahut aku langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
"Weyh,, kamu turun sekarang, siapa yang menyuruhmu duduk dibelakang? Kamu pikir aku sopirmu? Pindah ke depan!" arahnya dengan nada marah. Aku merungut lalu keluar kemudian masuk lagi dan duduk di jok depan. Sepanjang perjalanan aku hanya mendiamkan diri. Tidak lama kami sampai di sebuah restoran.
"Kau mau makan apa?" tanya Amdi sambil melihat daftar menu yang diberikan pelayan.
"Aku nggak lapar, aku hanya menemanimu makan,"
"Jadi, kenapa pulang?" tanya Amdi setelah memberikan pesanan kepada pelayan. Dia memandang tepat ke anak mataku, aku paling tidak suka pandangan matanya karena dapat membuat sakit hatiku bertambah.
"Tadi ummi nelpon, ummi bilang terimakasih karna kamu udah bawa ummi berobat, jadi aku pulang untuk memastikan apa ummi masih demam atau nggak."
"Oh gitu ya. Andini, aku udah berapa kali bilang bahwa aku nggak suka ama orang yang suka berbohong. Kenapa? Kamu takut kalau ibumu kuberi racun?" Amdi tersenyum sinis, dia fikir nyawa manusia ini mainan apa. Hatiku tambah sakit.
"Kenapa kamu belikan obat untuk ummi? Aku ini anaknya, hanya aku yang berhak membawa dia berobat. Dia tanggungjawabku." tanyaku dengan nada sedikit keras karena marah.
"Jadi kau membentakku hanya karena itu? Kau pikir kau siapa, hah!" balas Amdi marah. Aku terdiam seketika lalu menunduk kepala.
"Maafin aku, aku hanya ingin tau apa niatmu berbuat baik begitu pada ummi," aku memberanikan diri memandang anak matanya yang berwarna hitam kecoklatan. Tiba-tiba pelayan yang tadi muncul membawa nampan berisi minuman dan makanan.
"Kamu udah tau apa jawabannya kan, hanya saja kamu nggak tau kapan waktunya. Kamu nggak usah khawatir, saat ini ibumu masih bisa menghirup udara segar kok, lagi pula aku nggak mau mengotori tanganku dengan membunuh untuk saat ini. Tapi satu yang harus kau ingat, kapan saja nyawa ibumu yang tersayang bisa melayang. Kau faham?" Amdi meraih gelas yang berisi fresh orange lalu meneguknya sedikit. Aku menahan geram, dia menganggap nyawa ummi seperti mainan anak kecil yang apabila sudah rusak tinggal dibuang aja ke tempat sampah.
"Kalau gitu, kenapa kamu malah membeli ummi obat? Kalau kamu memang ingin membunuh, kau bunuh saja aku. Ummi nggak bersalah!" Lagi-lagi aku mengeraskan suaraku, kali ini lebih keras dari yang tadi membuat Amdi berhenti minum dan meletakkan gelasnya.
"Kalau ibumu demam, dia akan sakit dan kalau sakit mungkin dia bisa mati. Jadi, kalau ibumu mati karena sakit artinya bukan aku yang memnbunuhnya. Karena itulah aku menjaga ibumu dengan baik sampai saat itu tiba." Aku merasa nafasku tersekat dan airmataku keluar. Aku nggak sangggup kehilangan ummi, hanya ummi satu-satunya yang aku miliki. Ummi nggak bersalah, dia nggak kenal Amdi dan nggak tau apa niat Adnan yang sebenarnya.
"Tapi,, kalau kamu bisa menuruti perkataanku, oh tidak, lebih tepatnya menjaga hatiku, mungkin satu nyawa akan kulepaskan. Seperti yang kamu mau, aku akan melepaskan ibumu. Jadi, kamu harus menjadi anak yang manis, penurut dan penyabar. Kuharap penderitaanmu berkepanjangan," Amdi tersenyum sinis.
"Kamu benar-benar lelaki yang jahat, egois. Dasar pembunuh!" Tanpa sadar aku telah membangunkan singa yang tidur dengan perkataan yang keluar tanpa sengaja. Wajah Amdi yang berkulit cerah mendadak berubah menjadi kemerahan akibat menahan amarah. Dia menatapku dengan pandangan tajam, seolah-olah dia akan memakanku.
"Andini, setiap manusia memiliki hati, kamu pikir aku berubah seperti ini tanpa ada penyebabnya? Kau kira memaafkan orang yang telah membunuh kedua orangtuanya itu mudah? Apa dengan memaafkan mereka akan kembali hidup? Selama ini aku hidup sebatang kara, menjadi pengemis, pemulung. Aku bekerja keras hingga berhasil seperti sekarang ini. Karena apa? Karena aku ingin membalaskan dendamku. Aku ingin melihat orang yang membunuh ayah dan ibuku hidup dalam kesengsaraan, keterpurukan. Kamu tahu siapa? Ia adalah ibumu!,"
Amdi memukul meja makan. Aku yang terkejut dengan tindakannya hanya bisa mengucap dalam hati. Memang aku akui deritanya cukup menyayat hati tapi nggak seharusnya dia berbuat begini.
"Tapi Am kejadian itu bukan disengaja ummi. Itu takdir. Dia sendiri juga terluka parah. Kamu mengerti, kan."
Aku mengerutkan dahi, ummi memang nggak bersalah atas kejadian 10 tahun yang lalu.
"Kamu bisa mengatakan itu takdir dengan mudahnya, tapi kamu nggak akan bisa memahami keadaanku yang dulu. Didepan mataku keduanya meninggal, dan ibumu? Aku tahu dia juga terluka, tapi kenapa setelah itu dia nggak mencariku? Dia nggak bertanggung jawab atas kematian orangtuaku. Anak yang berusia 10 tahun bisanya apa? Tiap hari aku dipukul, disiram, dipaksa mengemis oleh preman-preman yang menemukanku. Aku akan membuat kalian merasakan apa yang aku rasakan!" bentak Amdi kuat, lalu dia menikam meja dengan garpu yang ada di piringnya.
Beberapa pasang mata mulai memperhatikan kami. Aku menundukkan kepala karena takut dibentak. Namun aku harus membela ummi yang juga menjadi korban kecelakaan.
"Ummi dan abi mencarimu, Am. Hanya saja mereka nggak menemukanmu." Belaku.
"Hahaha.. memang nggak akan ketemu kalau mereka mencari pake mata kaki, seharusnya pakai mata kepala. Kamu ingat baik-baik. Ibumu berhutang dua nyawa padaku, seharusnya ayahmu yang harus kubunuh agar kamu dapat merasakan nasib yang sama, tapi karena ayahmu sudah mati maka sebagai gantinya adalah kamu." Kata Amdi dengan nafas memburu, menahan amarah yang dirasakannya.
Aku akui memang kehidupan akan terasa pahit jika orang yang disayangi telah tiada, tapi bukan berarti dia dapat memutuskan siapa yang bersalah atas kejadian itu, siapapun pasti tidak ingin hal-hal yang buruk menimpa dirinya. Itu semua takdir.
Flashback
Satu tahun yang lalu Amdi masuk dalam kehidupanku. Dia mengenal ummi disaat ummi yang tengah menyeberang jalan hampir ditabraknya. Aku tahu itu semua merupakan sandiwara yang dilakukannya. Dia pura-pura baik di depan ummi untuk membalas dendam. Sampai di suatu hari aku mengetahui semuanya namun sampai saat ini aku tidak bisa melakukan apa-apa karena dia mengancamku akan membunuh sosok yang sangat kusayangi apabila kubongkar semua 'rahasianya'. Bahkan kepada Iqbal, satu-satunya sahabatku sejak dari kecil aku tidak berani untuk mengatakan..

Pagi ini aku bangun kesiangan dan telat ke kampus karena tadi malam Amdi mengizinkanku pulang setelah lewat pukul 23:30 WIB, sampai di kos pukul 00:10 WIB dan akhirnya tertidur setelah mengerjakan semua tugas yang diberikan dosen selama 4 jam. Untunglah masih sempat shalat shubuh walaupun dipenghujung waktu.
"Aduh, sakitnya!" Tiba-tiba kakiku tersandung. Aku berdiri sambil menahan rasa sakit di sekitar lutut dan telapak tanganku yang terluka. Saat aku mengangkat kepala dan melihat siapa pelakunya, ternyata...dia.
"Ups.. Sorry, aku nggak liat kau disitu." Amdi menyunggingkan senyuman sinisnya tanpa merasa bersalah padahal aku tahu bahwa dia sengaja melakukannya saat melihatku berjalan melewati koridor.
"Ya, nggak papa," sahutku sambil meniup telapak tanganku yang terluka.
"Makanya lain kali punya mulut tuh dijaga," Aku menatapnya sambil mengerutkan dahi. "Tadi malam." Sambungnya seraya menatap tajam. 'Oh.. jadi dia masih marah, ya' gumamku.
"Aku minta maaf karena tidak sengaja membentakmu." Ucapku perlahan sambil menundukkan pandangan.
"Sakit, ya? Sini biar kulihat." Amdi terus menarik tanganku lalu menekannya dengan kuat tepat di daerah yang terluka. Spontan airmataku mengalir karena tidak dapat menahan rasa sakit.
"Am, sakit.. Lepasin!" aku menarik tanganku kembali. Airmata kuhapus dengan punggung tangan kanan. "Sakit? Kalau begini sakit nggak?" tanya Amdi sambil menuangkan cairan yang tidak kutahu entah cairan apa ke telapak tanganku, yang kutahu luka ditanganku semakin terasa sakit dan pedih. Aku mengemam bibir berusaha menahan rasa sakit akan tetapi airmataku tidak bisa berhenti mengalir. Kulihat Amdi tersenyum puas. Aku membalikkan badan dan berjalan sekuat tenaga, tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan menarik pergelangan tanganku.
"Udah, sini biar ku obatin," Amdi menarikku menuju sebuah kursi lalu mendorongku hingga terduduk. Dia pun mengeluarkan sapu tangan berwarna peach dari sakunya lalu membersihkan luka ditangan dan lututku. Tidak hanya itu dia merogoh sesuatu dari kantong kemeja yang dipakainya lalu mengoleskannya kembali pada lukaku. Satu yang menjadi pertanyaan buatku, dia selalu berbuat baik pada akhir setiap perbuatan jahatnya. Benar-benar aneh.
"Lho, kok kamu bawa betadine? Emang kamu selalu bawa-bawa itu ya tiap hari?" tanyaku dengan heran. Dia menoleh lalu memasang tampang yang menyebalkan.
"Nggak, hanya hari ini, rencananya aku mau menabrakmu pakai mobil, tapi kamu datang terlambat. Akhirnya aku menyandung kakimu biar kamu jatuh tapi ternyata lukamu hanya sedikit, jadi nggak seru. Tapi nggak papa daripada kamu nggak terluka sama sekali," Jelasnya tanpa memikirkan perasaanku. Aku memalingkan pandanganku ke arah lain dengan perasaan geram bercampur sedih. 'Dasar manusia tidak berperasaan, jahat, aku benci kamu!' batinku.
"Wow.. Romantis banget, sih. Am, ini masih pagi lho," tegur Ryan tiba-tiba. Ryan merupakan sahabat Adnan yang memiliki perangai yang sama dengan Amdi, keduanya sama-sama kejam tapi Ryan tak sekejam Amdi. Bedanya Ryan suka memainkan perasaan perempuan, errm,, playboy, sedangkan Amdi tidak. Aku juga membenci Ryan karena dia sahabatnya Amdi, selain itu dia suka mempermalukanku. Pokoknya aku membenci segala yang berkaitan dengan Amdi termasuk baju yang dia pakai, mobil, temannya, rumahnya dan lain-lain yang ada sangkut pautnya dengan Amdi.
"Kalo kita udah sayang ama seseorang apapun pasti sanggup kita lakukan, bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun. Iya kan, Andini?" Amdi memandangku dengan senyuman sinis, tak sanggup melihat pandangannya yang menyakitkan hati aku segera memalingkan wajahku ke arah lain.
"So sweet! Benar-benar dah, kalo Adnan udah folinlop ama cewek memang romantis abis ya, Andini, kamu bener-bener beruntung karena pacaran ama Amdi coz banyak lho cewek yang iri ama kamu." Kata Ryan. Erk? Aku mengerutkan dahi lalu mataku membulat.
"Apa? Pacaran? Yang benar aja, aku nggak..., aduh!" belum selesai aku bicara Amdi langsung menekan lututku yang sakit dengan kuat.
"Nggak apa? Apa kamu masih menyangkalnya?" tanya Amdi sambil memandangku dengan pandangan yang mengisyaratkan sesuatu. Aku menundukkan wajah. Terdengar tawa Ryan yang menambah sakit hatiku.
"Hahaha, udah deh, kamu nggak usah malu-malu mengakuinya, semua udah tau kok kalo kalian udah pacaran. Ternyata diam-diam kamu nge-fans juga ya ama Amdi."
'Tunggu, sejak kapan aku nge-fans padanya?' Aku nggak pernah menyukai orang yang menghuru harakan hidupku, instead yang kurasakan hanya ada rasa benci.
"Tapi aku bingung lho, Am. Kok kamu mau sih ama cewek kayak dia? Padahal banyak lho cewek-cewek yang cantik naksir ama kamu,"
"Yah,, mau gimana lagi, Yan. Aku nggak kayak kamu. Lagian aku udah capek menghindarinya. Dia terus mengemis padaku supaya jadi pacarnya dan mau melakukan apa aja untukku, "
"What? Jadi kamu terpaksa pacaran ama dia?" tanya Ryan. Amdi mengangguk .
"Hah.. ternyata kamu sama aja ya ama cewek yang lain. Kupikir kamu beda coz keliatan alim. Aku nggak nyangka kamu serendah itu, Andini."
Tess... Airmataku berlinang membasahi pipi. 'Ya Allah.. kuatkan hatiku?' perlahan aku berdiri, luka yang perih tidak lagi kurasakan karena hatiku lebih perih.
"Hentikan! Itu semua fitnah!" teriakku.
"Aku benci kalian!" sambungku sambil meninggalkan mereka.
Niatku yang ingin belajar terbantut karena fitnah yang Amdi ciptakan. Akhirnya aku berjalan menuju kamar mandi dan menangis di dalamnya. Berselang sekitar 15 menit aku keluar dengan mata sembab dan terkejut melihat sosok yang kubenci berdiri di sana.
"Apa lagi?" tanyaku dengan suara parau.
"Apanya yang apa hah? Kamu tau apa salahmu? Berani-beraninya kamu membantah omonganku."
"Salahku? Kamu tu yang salah, seenaknya aja kamu menabur fitnah tentang aku, asal kamu tahu ya, aku nggak pernah menyukaimu walau sedikitpun, apalagi sampai merendahkan muruahku." marahku sambil melangkah menuju lokal. Aku tidak tahan lagi berhadapan dengannya yang terus-terusan membuatku sakit hati.
"Then, jadikan fitnah itu bukan fitnah," bisik Amdi perlahan ke telingaku. Seketika aku mematung karena terkejut, bukan karena ucapannya tapi karena jarak yang hanya beberapa inchi dari wajahnya ke telingaku. Sambil menyunggingkan sebuah smirk Amdi pun berjalan ke tempat parkir dan memasuki mobilnya lalu pergi.
Sehabis mata kuliah aku pergi ke perpustakaan. Bukan hanya untuk membaca tetapi untuk merasakan Air Conditioner (AC) nya juga dan berharap hatiku juga berubah menjadi sejuk. Tanganku bergerak lincah mencari buku Laa Tahzan di rak buku yang tersusun rapi.
"Assalaamu'alaykum, lagi nyari buku ini, ya?" tanya seseorang dari arah belakang. Aku menoleh dan melihat Iqbal bersandar pada rak buku sambil tersenyum memegang buku yang kucari.
"Wa'alaykumussalaam. Iya, jadi kamu yang ngambil bukunya, kirain siapa coz aku belum selesai baca buku itu." Jawabku sambil membalas senyumannya.
"Hehehe.. Jangan marah, nih." Kata Iqbal sambil menyodorkan buku tersebut. Aku hanya tersenyum dan mengambil bukunya lalu duduk kembali.
"Emang kamu nggak ada makul hari ini?" tanyaku tanpa melihatnya. Tanganku sibuk mencari halaman buku yang ingin kubaca selanjutnya. Iqbal menarik sebuah kursi lalu melabuhkan punggungnya.
"Nggak, makanya aku kesini."
"Coba kalo aku jadi kamu, pasti aku udah berhibernasi di kamar," kataku. Iqbal pun tertawa. "Dasar burung hantu, taunya cuma molor melulu. Untung aja kamu nggak gemuk kayak gajah duduk." Jawab Iqbal sambil melemparku dengan bola kertas yang dibuatnya. Aku cuma cengengesan.

"Nanti sore kamu free nggak?" tanya Iqbal

"Mungkin, coz makul hanya ada siang. Kenapa?"

"Aku ada match (pertandingan),"

"Taekwondo?"

"Ya"

"Kapan?"

"In Syaa Allah ba'da ashar,"

"Ooo.. Ok." kataku singkat. Aku tahu kalau masalah bela diri dia memang jago. Dia merupakan pemegang sabuk hitam taekwondo. Dulu waktu TK dia sering menolongku disaat teman-temanku yang nakal menjahiliku. Iqbal juga pernah membuat pencuri yang merampok tasku menjadi babak belur hingga sampai sekarang dia kuanggap sebagai hero ku.

"Jangan lupa ya, seperti biasa sekalian bawa cheesecake," kata Iqbal seraya menampakkan giginya yang tersusun rapi. Iqbal pun membayangkan betapa lezatnya cheesecake kesukaannya lumer dilidah. Nyummiii...

"Beres, tapi kalo kamu kalah ntar kamu aja deh yang beli Cheesecake buatku. Hihihi.."

"Tenang aja, pasti menang kok," Iqbal tersenyum bangga sambil menaik-naikkan alisnya.

"PD banget sih, ntar kalo kamu kalah baru tau rasa, kah kah kah.." tanpa sadar aku tertawa dengan keras hingga menimbulkan perhatian orang-orang. Sejak Amdi muncul dalam hidupku banyak orang yang menjauhkan diri dariku terlebih-lebih mahasiswi karena aku selalu bersama Amdi. Tapi beruntunglah masih ada Iqbal yang selalu setia ada disaat aku suka dan duka.

"Weyh, suaramu itu lho, aduh.. kau lupa kita ada dimana? Malu tau," tegur Iqbal sambil menutupi wajahnya dengan buku yang ditangannya. Tiba-tiba sebuah perasaan lain muncul dihatiku.

"Kenapa? Kamu juga malu ya berteman denganku? Ok, Fine. Pergilah, biarin aku sendiri." Kataku dengan sakit hati. Entah sejak kapan kenapa hati ini mudah sensitif. Mataku terasa panas dan pandanganku buram.

"Ya Allah, kamu kok ngomongnya gitu sih?" tanyanya dengan wajah terkejut. Aku diam dan memalingkan wajah.

"Andini, kita udah sahabatan sejak kecil tau, meski nggak ada satu orang pun yang mau berteman denganmu, aku tetap jadi sahabatmu. The real friend. Alaa An, jangan ngambek dong." Bujuk Iqbal. Aku tetap diam sambil menghapus butiran airmata yang jatuh.

"Andini,, jangan nangis dong. Ok, aku minta maaf, aku bener-bener nggak tau kalo kamu sensitif tentang itu. Ntar aku beliin es krim deh buat kamu." Iqbal terus membujukku. Mendengar kata 'es krim' aku langsung tersenyum manis.

"Aku mau dua!" kataku sambil mengangkat kedua tanganku lalu membuat peace tepat didepan Iqbal.

"Itu dua apa empat?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Sadar kalau kedua tanganku membuat tanda peace buru-buru aku menurunkan tangan kiriku seraya tersenyum untuk menutupi rasa malu. Huhuhu..

"Hehehe.. dua aja deh, ntar yang dua lagi untuk besok." Jawabku cengengesan. "Nggak ada, just one." Bantah Iqbal.

"Nggak mau satu, aku mau dua. Titik nggak pake koma." Tegasku sambil membuang muka sambil cemberut.

"Hmm baik tuan putri, hamba mengalah." Sahut Iqbal sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. 'Iqbal, kamu benar-benar sabahat yang baik, aku bersyukur bisa mengenalmu.' Bathinku.

"Hmm.. aku mau nanya sesuatu sama kamu, ermm berita ini udah jadi viral, tapi aku nggak percaya kok, aku cuma mau mastiin aja," kata Iqbal dengan nada serius. Aku mengubah posisi dudukku dari yang menopang dagu kini duduk tegak.

"Apa? Tanya aja,"

"Ermm,, apa benar Amdi terpaksa pacaran sama kamu lantaran kamu terus mengemis padanya? Dan katanya kamu juga bersedia melakukan apapun yang dia mau, erm,,termasuk masalah harga diri?" tanya Iqbal dengan ragu-ragu. Sontak, aku terkejut dengan pertanyaannya.

"Apa??? Siapa yang nyebarin fitnah ini?" aku balik bertanya. Tanganku ku genggam erat, perasaan marah meledak dalam hati. Dengan ragu-ragu Iqbal menjawab. "Ryan, dia up berita itu ke grup WhatsApp. Kurasa semua rekan grup sudah membacanya. Tapi kamu tenang aja, aku nggak bakalan percaya kok sama Ryan, karena aku lebih mengenalmu dibanding mereka." Jawab Iqbal. Aku tertunduk lemas, masalah Ryan pasti masalah Amdi juga, karena mereka 2 in 1, pasti Adnan yang menyuruh Ryan melakukan ini.

"Andini, aku tahu kamu pasti sedih, gimana kalau kali ini biar aku yang menyetelkan masalah ini?" tawar Iqbal sambil memandangku dengan tatapan yang serius dan marah. Aku menelan liur, melihat tatapan Iqbal yang sudah sangat serius pasti akan berakhir dengan kekerasan, aku sudah faham dengan sikap Iqbal yang satu ini, dia nggak akan segan-segan membuat orang yang menyakitiku berakhir di rumah sakit. Selain sahabat aku juga sudah menganggapnya seperti abang sendiri.

"Udah, nggak apa-apa kok, Iq. In Syaa Allah aku bisa kok mengatasinya lama-lama gosip ini pasti hilang." Sahutku sambil berusaha kuat didepan Iqbal. Aku tersenyum untuk menutupi sakit hatiku. Hati siapa yang nggak akan sakit bila di fitnah begitu saja, apalagi yang membuat fitnah itu orang yang dibenci.

Sampai di kos aku langsung memasukkan es krim rasa vanilla dan coklat yang dibelikan Iqbal ke dalam freezer, lalu menuju kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur, lelah yang kurasakan membuat mataku terpejam dan akhirnya aku tertidur.

Seperti janjiku pada Iqbal tadi siang, selesai shalat ashar aku bergegas ke tempat pertandingan Iqbal. Tiba disana pertandingan sudah mulai, aku mengarahkan pandangan keseluruh penjuru mencari Iqbal dan aku menemukannya berdiri di samping kursi yang tidak jauh dariku sambil memegang tin minuman.

“Hoi..!” seruku sambil menepuk punggungnya dengan handbag. Iqbal terkejut lalu menoleh kearahku. Tin minuman yang dipegangnya terjatuh.

“Ya Allah, Andini, bisa nggak sih berhenti membuat jantungku hampir copot? Udah nggak pake salam lagi,” marah Iqbal dengan nada geram. Sesekali tangannya mengusap dadanya sambil mengheka nafas. Kelakuannya membuatku tertawa.

“Hahaha.. Iya,,iya. Assalaamu’alaykum tuan Iqbal Hakim,” kataku sambil tertawa.

“Wa’alaykumussalaam, nah gini kan bagus.” Sahut Iqbal.

Tiba-tiba.. PUK..!!

“Aduh...!” jeritku sambil mengusap kepalaku yang diberi ‘hadiah toya-toya’ oleh Iqbal.

“Lain kali diulang lagi ya, besok-besok aku bakalan kasih hadiah yang lebih besar,” kata Iqbal sambil menatapku sambil cengar cengir.

Aku membalas tatapannya dengan kesal lalu mencibir. Iqbal lalu menggelengkan kepalanya sambil tertawa pelan.

“Aku kira kamu nggak jadi datang,” kata Iqbal sambil menarik kursi lalu mempersilahkanku duduk.

“Mana bisa nggak datang, ntar ada orang yang ngambek sampe nggak ingat dunia kalo aku nggak datang, aku nggak pandai membujuk big baby,” ujarku sesuka hati. Iqbal mengerling kesal, lalu PUK..!!

“Adoooi,, sakit tau,” kesalku.

Sekali lagi aku mengusap kepalaku yang ditutupi kerudung akibat ‘hadiah toya-toya’ Iqbal. Iqbal cuma diam dan dengan rasa tanpa bersalah karena memukul kepalaku dengan tin minumannya dia mengambil tempat duduk disebelahku.

“Kapan giliranmu?” tanyaku.

Aku melemparkan pandangan ke pemain yang sedang bertarung. Keduanya sama-sama memakai sabuk hitam.

“Sebentar lagi, jika salah satunya menang, maka dialah yang akan jadi lawanku.” Jawab Iqbal. Aku melirik obi yang dipakainya, hitam.
(Author: Oh ya, sedikit perkenalan tentang taekwondo, Obi/sabuk dalam taekwondo ada tingkatannya lho, mulai dari putih, kuning, hijau, biru, merah dan terakhir adalah hitam. Sabuk hitam melambangkan kematangan penguasaan taekwondo).

“Andini,” satu suara terdengar dari belakangku. Aku terkejut mendengar suara yang memanggil namaku.

‘Amdi, kenapa dia disini?’ tanyaku dalam hati.

Serentak aku dan Iqbal menoleh kebelakang. Suara tepuk tangan penonton bergema saat salah seorang petarung berhasil mengalahkan lawannya.

“Am, mimpi apa kamu datang ke sini?” tegur Iqbal.

“Nggak ada, cuma mau lihat sampe dimana kemampuanmu dalam bela diri,” sahut Amdi dengan senyum sinis.

“Well, Enjoy the show then. Aku pinjam Andini dulu ya,” kata Iqbal sambil membalas senyuman sinis Amdi dengan senyuman manis.

“Bentar, siapa yang ngizinin kamu minjam dia?” Amdi mendekati kami.

“Nggak lama kok, lagian dia sahabatku jadi kamu nggak usah cemburu.” Kata Iqbal sambil menepuk bahu Amdi.

“Aku nggak ngizinin dia dekat dengan laki-laki manapun, meski sahabatnya. Aku hanya ingin dia ada bersamaku.” Bidas Amdi sambil menolak tangan Iqbal dari bahunya.

“She’s mine,” sambung Amdi sambil menatapku tajam. Melihat situasi seperti ini aku terpaksa mengalah.

“Okay fine. Aku ikut denganmu,” kataku sambil menghela nafas panjang.

“Iqbal, maafin aku ya,” ucapku dengan rasa bersalah pada Iqbal.

“Nggak papa, kalo gitu aku pergi ya, sekarang giliranku,”

Iqbal tersenyum tawar lalu mengambil langkah menuju arena pertandingan. Aku tahu dia pasti kecewa karena disaat gilirannya tampil aku malah memilih mengikuti Amdi.

“Dari tadi kek,” kata Amdi sambil manatap sinis ke arah Iqbal yang pergi. Aku nggak habis pikir dengan sikap Amdi.

“Kamu benar-benar jahat, ya. Kamu suka melihatku sengsara. Kamu udah nyebar fitnah sekarang kamu malah membuat sahabatku satu-satunya ikut membenciku.

"Kamu puas???” luahku dengan amarah yang membara. Aku nggak peduli jika semua orang membenciku tapi hatiku tambah hancur disaat Iqbal ikut membenciku karena Amdi.

“Memang itu tujuanku yang sebenarnya, membuatmu sengsara. Asal kamu tahu ya, hatiku sakit jika melihatmu bahagia. Ayo pulang!” perintah Amdi sambil menarik tanganku. Aku menarik tanganku.

“Nggak mau, pergi aja sendiri.” Bantahku sambil menyeka airmata.

“Oh, jadi Iqbal lebih penting daripada aku?” tanya Amdi sambil melotot marah.

“Memang, dia lebih penting daripada kamu, dia sahabatku dan kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku.” Jawabku dengan berani.

Amdi mengertakkan giginya dan mengepal tangannya dengan kuat. Aku tahu dia pasti marah karena aku sudah melawan perkataannya.

“Baik, mungkin dia lebih penting juga daripada nyawa ibumu. Silahkan duduk disini dan tunggu tunggu panggilan kalo ibumu akan dikuburkan,” ancam Amdi seraya meninggalkanku.

Mendengar ucapannya aku tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikutinya. Aku mengerling Iqbal yang turut melihatku meninggalkan kursi penonton. ‘Iqbal, maafkan aku’ kataku dalam hati.

Habis makan Amdi mengantarku ke kos, dia memaksaku makan walaupun aku nggak mood makan, tapi aku bersyukur karena habis makan dia langsung mengajakku pulang. Aku meraih ponsel di atas meja lalu memeriksa apa ada balasan chat yang kukirim pada Iqbal di whatsapp. Nihil. Aku langsung mendail nomor Iqbal.
Aku langsung mendail nomor Iqbal.

"Assalaamu'alaykum," ucapku memberi salam.

"Wa'alaykumussalaam," jawab Iqbal diseberang telepon.

"Lagi ngapain tu?" tanyaku.

"Nonton,"

"Gimana pertandingannya? Menang nggak?"

"Menang," jawabnya dengan ringkas.

"Alhamdulillah, memang kamu benar-benar hebat ya, nanti kubelikan cheesecake sebagai hadiah," kataku mengambil hatinya. Kuharahap dengan cheesecake hatinya luluh.

"Nggak usah, aku udah kenyang," jawabnya dengan nada dingin.

"Kamu masih marah ya?" tanyaku dengan berkecil hati. Biasanya kalau aku bilang cheesecake dia nggak akan sabar menunggu dan langsung bilang 'tunggu, aku akan akan sampai disana kurang lebih 15 menit lagi', tapi sekarang dia malah acuh tak acuh.

"Nggaklah,"

"Tapi dari kata-katamu aku tau kamu masih marah,"

"Mmm.."

"Aku minta maaf," ucapku separuh menangis.

"Ya, aku mau tidur," jawabnya tetap dingin.

"Kamu ngambek ya?"

"Nggak lah,"

"Tapi kayaknya kamu nggak mau ngomong sama aku," kataku sambil menahan tangis. Kudengar Iqbal menghela nafas panjang.

"Aku bukannya apa Andini, kamu itu sahabatku sejak kecil, aku tau kamu sayang sama Amdi, tapi jangan sampai kamu mengabaikan kawan sendiri," kata Iqbal mengeluarkan uneg-unegnya.

"Aku nggak bermaksud mengabaikan kamu,"

"Trus yang tadi itu apa? Sebelumnya kamu nggak pernah pergi disaat giliranku." Bentak Iqbal.

"Maaf, tadi Amdi mengajakku makan," jawabku dengan rasa bersalah.

"Emang nggak bisa tunggu ya sampai selesai match? Udah lah, dulu aku juga pernah pacaran tapi aku nggak sampai mengabaikanmu, aku tetap mengutamakan persahabatan kita. Tapi sejak ada Amdi kamu menganggapku seperti sampah,"

"Maaf, aku benar-benar terpaksa,"kataku jujur.
Kalau bukan karena Amdi mempermainkan nyawa ummi udah lama kutendang dia.

"Terpaksa? Dia baru jadi pacarmu bukan suamimu, emang kau tau dia udah pasti jodohmu karena itu kamu melayannya seperti raja? Dah lah, kamu bilang kamu terpaksa kan? Aku nggak mau nambah bebanmu. Assalaamu'alaykum." Iqbal terus mematikan telepon.

Aku hanya mampu menjawab salamnya dalam hati. Airmataku akhirnya tertumpah juga. Aku terjelupuk ke lantai sambil menagis.

Aku hanya mampu menjawab salamnya dalam hati. Airmataku akhirnya tertumpah juga. Aku terjelupuk ke lantai sambil menagis.

'Amdi, sekarang aku udah kehilangan sahabatku, tolong jangan buat aku juga kehilangan ummiku,' rintihku dalam tangis.

Kepalaku semakin berat, pandanganku memudar dan perlahan aku tidak sadarkan diri.

********








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rukun Islam

Buniyal Islam هذه القصيدة بني الإسلام ۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰ بني الإسلام علی خمس، خمسة أرگان فی الدين Buniyal Islâmu ‘a...